PERTUMBUHAN EKONOMI DAN UNIVERSITAS
Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia/Guru Besar Statistika IPB
Sulit dibantah bahwa universitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara, wilayah, atau bahkan lokasi setempat. Dalam ukuran mikro, daerah-daerah yang ada universitas selalu mempunyai kehidupan ekonomi yang baik. Daerah Darmaga Bogor, misalnya, sebelum IPB pindah ke sana, kehidupan ekonominya sangat sepi. Toko kelontongan serba ada dan warung makan pada akhir tahun 70 itu tidak lebih dari lima. Awal dekade 80, mulai terlihat ada beberapa tambahan toko kelontong dan rumah makan. Sekarang? Luar biasa ramainya. Begitu juga Jatinangor di Kabupaten Sumedang, dulu bagian pinggiran Kabupaten Sumedang. Saat ini, Jatinangor bagaikan bagian dari Kota Bandung.
Kedua contoh wilayah kampus itu bisa mewakili daerah-daerah baru di berbagai Kabupaten yang tadinya sepi, lalu berubah jadi tempat keramaian orang. Wilayah-wilayah tersebut adalah lokasi pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh kehadiran kampus. Sudah barang tentu ekonomi daerah baru tersebut jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Walaupun tidak tertutup yang menikmati pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut adalah para kaum berpunya (the have) yang berasal dari perkotaan di luar daerah itu. Selain itu juga daerah tersebut menjadi semrawut, penuh sesak, dan macet.
Tentu manfa’at kehadiran universitas di negara, bukan sekedar perubahan lanskap ekonomi mikro daerah, tetapi jauh lebih besar lagi. Yakni sebagai entitas yang bisa mentrigger pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Efek inovasi ini bisa sangat signifikan terhadap ekonomi negara dan bahkan dunia. Kampus MIT, Stanford, dan Harvard misalnya, adalah magnet pertumbuhan ekonomi inovatif yang dikelilingi oleh perusahaan raksasa seperti google, microsoft, apple, novartis, dan lain-lain.
Kondisi ini tentu saling menguntungkan (simbiosis mutualistis) bagi warga universitas dan industri. Dengan demikian, para mahasiswa mendapatkan suatu ekosistem yang komplit dalam hal akademik dan entrepreneur. Mereka jadi terlatih berpikir inside-out dan outside-in tanpa tersekat-sekat. Ekosistem seperti inilah yang sangat kurang di kampus-kampus Indonesia. Keadaan ini telah menyebabkan adanya kesenjangan antara universitas dan industri di Tanah Air.
Apakah PT Perlu Banyak?
Bila dipelajari lebih dalam lagi, perlu kita pertanyakan apakah jumlah PT itu berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi negara? Bila demikian adanya, Indonesia termasuk yang sangat baik. Karena PT kita sangat banyak dibandingkan dengan negara lain. Saat ini kita mempunyai sekitar 4300 PT dengan total penduduk sekitar 260 juta. Bila dibandingkan dengan Tiongkok yang berpenduduk sekitar 1.4 milyar, jumlah PT hanya 2300. Secara nominal saja kita lebih besar, apalagi secara rasio. Namun demikian, apakah ekonomi kita lebih baik daripada Tiongkok?
Memang membandingkan kekuatan ekonomi antara negara tidak cukup bila hanya dilihat dari jumlah PT. Tetapi paling tidak, kita sepakat bahwa pendidikan tinggi mempunyai pengaruh langsung terhadap kecerdasan bangsa serta kualitas sumberdaya manusia. Dengan asumsi bahwa mutu PT itu sudah sesuai dengan harapan masyarakat. Yakni, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pengetahuan, keterampilan, manajemen, dan profesionalisme. Bila asumsi itu tidak terpenuhi, maka hubungan linier PT dan ekonomi tidak tercapai.
Untuk itu perlu dianalisis kaitan antara jumlah PT dan pertumbuhan ekonomi. Arman (2018) telah menggunakan model statistika sederhana untuk mengkaji faktor jumlah PT, rasio dosen-mahasiswa, indeks pembangunan manusia (IPM) dan jumlah PT sebagai peubah bebas (independent variable) dan pertumbuhan ekonomi sebagai outcome (dependent variable). Data diambil dari seluruh provinsi Indonesia. Hasil pemodelan tersebut menunjukkan hanya IPM dan rasio dosen-mahasiswa memberikan efek signifikan. Adapun jumlah PT itu tidak signifikan dengan koefisien negatif.
Dari model itu dapat disimpulkan bahwa jumlah PT itu tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dengan koefisien negatif itu menunjukkan bahwa terlalu banyaknya jumlah PT itu kontra produktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Alih-alih jumlah PT itu akan mendongkrak ekonomi negara, malah menjadi beban.
Mergerisasi
Berdasarkan informasi di atas, maka upaya merger atau akuisisi beberapa PT itu menjadi keharusan. Bila mengacu pada rasio PT dan penduduk Tiongkok, kita layaknya cukup dengan 400 PT saja. Tidak perlu sampai 4300. Akan tetapi memangkas 3900 kampus tentu bukan pekerjaan mudah. Namun demikian membiarkan jumlah PT begitu besar juga bukan sesuatu hal yang bijak. Di sinilah diperlukan suatu upaya jalan tengah. Bila kita bisa menurunkan jumlah PT dari angka 4300 ke 2000 saja, beban negara akan jauh berkurang.
Untuk mencapai tujuan itu diperlukan berbagai upaya, misalnya mergerisasi kampus. Strategi paling mudah adalah merger berbasis wilayah. Tahap awal perlu ada peta PT di setiap wilayah. Indikatornya dapat dilihat secara kuantitatif seperti jumlah mahasiswa, rasio dosen-mahasiswa, lama studi, IPK, dan daya serap. Bisa juga dipelajari kelembagaannya, yakni eksistensi Badan Penyelenggara dan hubungannya dengan PT. Berdasarkan indikator kuantitatif dan kualitatif itu, bisa dibuat peta kondisi PT.
Peta itu juga bisa disandingkan dengan tiga hal yang harus dipertimbangkan: 1) kapasitas, 2) kualitas, dan 3) kesesuaian antara program studi (kajian, research) dengan industri serta potensi daerah. Dengan demikian kita punya peta kondisi yang lengkap.
Berdasarkan peta ini dapat dibuat pengelompokkan PT ke dalam setidaknya tiga kategori, 1) lemah, 2) sedang, dan 3) baik. Kelompok lemah bisa diakuisisi oleh kelompok baik. Adapun kelompok sedang bisa melakukan merger. Metode ini bisa mengurangi jumlah PT sekitar 50%.
Program selanjutnya adalah penguatan PT termasuk memberikan mandat untuk memperkuat industri, termasuk pertanian dan sumberdaya energi. Pola ini juga bisa dikaitkan dengan jenis PT, yakni universitas riset (research), pengajaran (teaching), vokasi atau politeknik. Adapun entrepreneurial masuk ke semua jenis PT dalam bentuk pengajaran dan ekosistem.
Bermodalkan pola seperti itu baru PT bisa mempunyai efek signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti saat ini, banyak tapi beban.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo 11 Des 2018
PIC : Kementerian Komunikasi dan Informasi (https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/5184/Membangun+Ekonomi+Negeri+Yang+Mandiri/0/infografis)