GENERASI MUDA, ANCAMAN ATAU BONUS DEMOGRAFI

Lonceng peringatan populasi di Jepang sudah terdengar samar-samar sejak 1993.

Saat itu, Jepang masih berlimpah dengan penduduk dengan usia produktif. Jumlah penduduk usia nonproduktif masih lebih kecil. Sehingga, rasio ketergantungan di Negeri Matahari Terbit itu berada di angka 43,69 persen.

Rasio ketergantungan menunjukkan perbandingan antara penduduk dengan usia tak produktif dengan penduduk usia produktif.

Penduduk usia nonproduktif adalah mereka yang berumur 0-14 tahun, dan mereka yang berusia lebih dari 65 tahun. Sedangkan mereka yang di luar rentang usia itu, disebut sebagai usia produktif. Makin rendah persentasenya, maka makin rendah rasio ketergantungannya.

Tapi setelah 1993, Jepang pelan-pelan terseret dalam jurang ketergantungan. Sejak itu rasio itu terus melorot. Tahun lalu mencapai 65,29 persen. Tak hanya itu, angka kelahiran lebih rendah dari angka kematian. Salah satu sinyalnya adalah, jumlah popok manula terjual lebih banyak dari pada popok untuk balita. Lonceng ini peringatan itu berdentang makin keras.

Studi National Institute of Population and Social Security Researchmemprediksi, dalam 50 tahun ke depan, jumlah penduduk Jepang akan susut 39 juta orang. Dari 127 juta penduduk saat ini, akan sisa 88 juta orang.

Jumlah itu diprediksi makin menciut pada tahun 2115, diperkirakan hanya sisa 51 juta orang Jepang. Pemerintah setempat menilai gejala ini adalah bom waktu demografi.

Gejala yang sama juga terjadi di negara-negara berpendapatan menengah ke atas dan berpendapatan tinggi. Seturut dengan meningkatnya kualitas hidup, penduduk negara-negara makmur makin sehat dan berumur panjang.

Porsi penduduk berumur jadi makin banyak. Sebaliknya, angka kelahiran berkurang. Alhasil komposisi penduduk berubah. Penduduk usia produktif makin berkurang jika dibanding dengan penduduk usia nonproduktif. Rasio ketergantungan meningkat.

Negara berpendapatan tinggi rasio ketergantungannya naik. Australia pada 1993 rasio ketergantungan 50,03 persen jadi 51,86 persen. Kanada 47,72 persen jadi 48,24pe rsen.

Sebaliknya, negara-negara berpendapatan menengah ke atas dan menengah bawah, tren rasio ketergantungan justru turun.

Rasio ketergantungan Rusia pada 1993 mencapai 50,93 persen jadi 45,10 persen pada 2016. Brazil, dalam rentang 24 tahun berubah dari 62,32 persen jadi 43,64 persen. Tiongkok, dari 51,51 persen menjadi 38,54 persen.

Indonesia, yang masuk kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah juga mengalami tren serupa. Pada 1993, rasio ketergantungan itu mencapai 63,44 persen. Angka itu perlahan turun. Tahun 2016, rasio ketergantungannya mencapai 48,92 persen.

Menurut data, dalam 20 tahun ke depan jumlah penduduk usia produktif makin bertambah. Persentasenya juga naik 0,8 persen dari kondisi sekarang menjadi 67,9 persen. Kondisi ini yang kerap disebut sebagai bonus demografi. Penduduk dengan usia produktif makin banyak.

Menurut Prof Dr Agus Pramusinto, Ketua Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIP, Universitas Gadjah Mada, bertambahnya kelompok usia produktif ini akan jadi berkah jika mereka telah siap untuk bekerja secara produktif. Syaratnya, mereka memiliki kesehatan yang layak, pendidikan dan keterampilan yang memadai. Hal penting adalah ada lapangan pekerjaan yang mampu memanfaatkan potensi mereka.

Pada suatu kesempatan, Presiden RI, Bapak Joko Widodo mengatakan bonus demografi bisa menjadi pedang bermata dua. Oleh karenanya, anugerah ini tak melahirkan tenaga kerja berkualitas. Jika tidak, akan menjadi bencana kependudukan, diantaranya dapat menimbulkan pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan.

Bagaimana kondisi penduduk usia produktif di Indonesia?

Per Februari lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari penduduk Indonesia ada 260,82 juta orang. Dari jumlah itu, 131,54 juta penduduk berusia produktif. Walau produktif, tak semuanya bekerja. Ada 7 juta pengangguran, yang kerja 124,53 juta orang.

Kualitas angkatan kerja kita masih jauh dari baik. Mayoritas pendidikannya SD ke bawah (42,23 persen). Lalu SMP (18,16 persen), SMA (16,48 persen), SMK (10,87 persen), Diploma (2,95 persen), dan Universitas (9,31 persen).

Dari 7 juta pengangguran terbuka di Indonesia, 1,3 juta lulusan SD. Jumlah serupa hanya lulusan SMP. Lulusan SMA sederajat mencapai 2,9 juta orang. Lulusan D3 249 ribu. Sedangkan sarjana ada 606 ribu.

Dari jumlah itu, 4,25 juta pengangguran itu sedang mencari kerja. Sedangkan 2,493 juta pasrah soal pekerjaan. Yang mau bikin usaha hanya 205,2 ribu orang. Dengan kondisi ini, tak ada jalan lain selain menggenjot kualitas manusia Indonesia.

Urusan pendidikan, selama ini pemerintahan menggenjot anggaran pendidikan sebesar 27,4 persen pada 2015-2017 dibanding 2011-2014. Salah satu fokus pemerintah adalah pendidikan vokasional, alias politeknik untuk menyambut bonus demografi 2030.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan program vokasional ini akan masuk dalam program prioritas pemerintah tahun depan. Tujuannya, agar kualitas lulusannya bisa sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan berdaya saing global. Tapi ini bukan pekerjaan yang cepat.

“Kami ingin dorong vokasi menjadi pilihan, bukan karena terpaksa. Jadi, kami perbaiki dulu kualitas sekolah dan gurunya,” ujar Bambang, seperti dikutip dari Katadata.co.id.

Indonesia berkaca pada Tiongkok. Di Negeri Tirai Bambu ini, pendidikan vokasional mencapai 56 persen dari total pendidikan. Sedangkan Indonesia baru 16 persen. Menurut Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir pendidikan vokasi menjadi kunci jawaban atas kebutuhan tenaga kerja yang produktif dan kompetitif.

Namun hingga kini, 95 persen dosen politeknik ini tak memiliki pengalaman kerja di dunia industri. “Jadi dosen-dosennya itu bagus dari sisi akademik saja, tak punya pengalaman kerja,” kata Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti, Kemenristekdikti Patdono Suwignjo.

***

Penulis: Muhammad Nur Rochmi
editor: Indragara
Sumber tulisan: beritagar.id

you may also like