PARADIGMA BARU PERGURUAN TINGGI
Asep Saefuddin
Universitas dimana pun berada adalah tempat berkumpulnya orang-orang pintar, para intelektual, bahkan para filosof. Tingkat keleluasaan berpikir kelompok ini lebih tinggi daripada umumnya masyarakat biasa. Sehingga dikenal istilah-istilah seperti kebebasan akademik, kebebasan mimbar, dan otonomi universitas. Kebebasan berpikir ini memang diperlukan sebagai syarat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak bisa dipungkiri peran perkembangan iptek dunia adalah hasil karya orang-orang kampus.
Pada saat teknologi informasi belum secanggih saat ini, dosen bisa dikatakan sebagai sumber utama pembelajaran. Dosen menjadi tempat bertanya dan jawaban seputar ilmu pengetahuan. Sumber belajar kedua adalah perpustakaan dengan buku-buku teks (textbooks), karya ilmiah dosen atau mahasiswa, dan jurnal-jurnal. Semuanya berbentuk hard-copy. Tidak ada bentuk virtual. Kalaupun ada paling modern dalam bentuk pita dan disket yang disimpan di tempat khusus, gudang data secara fisik, bukan virtual seperti “cloud” atau sejenisnya. Artinya, perpustakaan secara fisik sangat penting. Kampus tanpa perpustakaan seakan makhluk tanpa jantung. Tidak ada denyut kehidupan. Itulah kehebatan kampus pada saat pola teacher-centered learning.
Penulis merasakan peranan dosen dan perpustakaan itu pada saat kuliah S1 di IPB (1976-1980), S1 di Universitas Paris XI Orsay Prancis (1984-1986), dan S2/S3 di Universitas Guelph Kanada (1990-1996). Ketika itu, mahasiswa adalah generasi “baby boomers” yang umumnya gaptek. Waktu di IPB dan Orsay, nuansa virtual masih belum terasa. Berbeda dengan suasana di Guelph, arah-arah ke pemanfaatan teknologi informasi sudah mulai muncul. Internet saat itu sudah ada tapi masih sebatas e-mail berbentuk tulisan (text) tanpa gambar. Sistem operasi komputer masih lambat dan terbatas. Namun, denyut-denyut orientasi ke arah komputerisasi sudah mulai marak. Mahasiswa Indonesia di luar negeri sudah mulai berkomunikasi melalui e-mail dengan grup-grup diskusi millist sampai ke berbagai negara. Di Kanada ada “warung Kanada”, di US ada permias-net, di Australia ada PPIA-net, serta mahasiswa Islam Indonesia membentuk Is-net. Kartu nama juga sudah mencantumkan alamat e-mail.
Para dosen mewajibkan mahasiswa untuk menganalisis data yang sumbernya diambil dari server kampus. Mahasiswa memperoleh alamat e-mail dan kata sandi untuk akses ke sumber data. Civitas akademika memanfaatkan komputer kampus (mainframe) secara terpusat melalui CMS (Central Management System). Bila dibandingkan dengan keadaan saat ini memang masih jauh. Akan tetapi proses pembelajaran saat itu sudah menggunakan pola student-centered learning. Artinya, paradigma pendidikan sudah mulai berubah. Dosen tidak lagi bertindak sebagai sumber utama belajar. Mereka condong menjadi motivator dan fasilitator. Pengajaran memang masih ada tetapi selain memegang buku teks, dosen wajib menyampaikan contoh-contoh kasus dari hasil riset mereka bersama mahasiswa pascasarjana atau peserta postdoctoral. Sehingga pengajaran dan riset menjadi satu kesatuan. Pada dekade 90 itu sudah terjadi pergeseran paradigma dari universitas pengajaran ke universitas riset.
Internet of Things
Berbeda dengan generasi generasi X apalagi generasi baby boomers, saat ini IoT (Internet of things) sudah masuk ke berbagai sektor kehidupan, tidak saja sektor ekonomi. Pada dekade 90 memiliki alamat e-mail sudah menjadi tanda melek internet. Dan itupun masih terbatas di kalangan orang tertentu saja. Saat ini kita bisa saksikan hampir semua pelajar SMA, SMP, bahkan SD sudah mampu mengakses berbagai informasi melalui telepon cerdas. Pemuda saat ini sering disebut generasi TGIF (Twitter, Google, Instragram, dan Facebook) atau FANG (FB, Alibaba, Netflix, Google). Pada suatu pertemuan dengan mahasiswa, saya menerjemahkan TGIF sebagai Thanks God Its Friday, mereka pada tertawa. Kelebihan generasi TGIF/FANG ini adalah kemudahan mereka untuk learn, unlearn, dan relearn. Berbeda dengan generasi X dan baby boomers yang cenderung konservatif, sulit menerima perubahan.
CMS yang dulu menandakan sistem manajemen komputer berbasis mainframe, era saat ini CMS adalah cloud, mobile, social media. Melalui CMS terjadi revolusi dalam berbagai fasilitas yang berkaitan dengan data dan operasinya. Berbagai informasi dan layanan iklan sudah tersimpan secara murah melalui CMS. Data pun sudah semakin besar, cepat, beragam, dan tak terstruktur yang saat ini dikenal dengan istilah Big Data. Para ahli yang berkecimpung dengan big data ini pun bukan orang statistika saja. Bidang keilmuannya, dikenal sebagai Data Science, isinya sudah semakin kompleks. Diperlukan kekuatan matematika, statistika, informatika, dan kemampuan daya analisis secara transdisiplin.
Bila dunia bisnis sudah terbiasa dengan IoT, sudah barang tentu dunia kampus jangan hanya menjadi penonton. PT tidak bisa lagi melakukan proses pembelajaran dengan cara-cara lama berbasis teacher-centered learning. Tetapi harus masuk pola student-centered learningatau bahkan community and student centered learning. Kampus tidak bisa lagi mengklaim sebagai pusat ilmu pengetahuan. Saat ini, masyarakat pun sudah semakin cerdas dan banyak kreasi-kreasi aplikasi yang diterapkan. Misalnya fenomena go-jek, jual beli on-line, grab car, dan banyak lagi penggunaan internet untuk barang dan jasa melalui IoT (internet of things). Di kalangan pemerintahan, dengan berbagai persoalannya, sudah mulai ramai e-govt, paspor daring (on-line passport), E-KTP, dan pajak daring.
Bagaimana Dengan Universitas?
Dunia universitas di luar negeri sudah marak dengan pola e-learning. Generasi FANG bisa menggali ilmu pengetahuan melalui MOOCs (Massive On-line Open Courses) yang bisa diperoleh secara gratis. Banyak kampus-kampus besar WCU (World Class University) yang tergabung ke dalam COURSERA. Yakni suatu aplikasi yang memanfaatkan MOOCs untuk memperoleh sertifikat atau bahkan gelar kesarjanaan dari universitas yang ada pada Coursera. Mengapa Coursera perlu kampus? Karena pola MOOCs digabung proses pembelajaran peer dan diskusi secara fisik dengan dosen universitas pemberi gelar atau sertifikat. Pun universitas memerlukan coursera untuk mempercepat penyebaran iptek serta memfasilitasi hak orang untuk akses ke kampus. Dus, coursera adalah penjabaran ide “education for all”, pendidikan untuk semua.
Sayangnya, kampus di Indonesia saat ini belum ada yang bergabung dengan coursera. Banyak faktor penyebab hal ini yang bermuara pada paradigma pendidikan kita masih condong ke mindset lama. Kita masih tabu dengan virtual learning, pendidikan jarak jauh, apalagi pendidikan kelas jauh. Kita (baca: pemerintah) takut pola ini tidak bermutu yang hanya menghasilkan gelar abal-abal. Kita ngeri soal itu, sehingga banyak sekali regulasi-regulasi yang memproteksi (baca: mengekang) perguruan tinggi. Kalaupun ada pola MOOCs harus dilakukan oleh pemerintah (kementerian ristek dan dikti). Selalu ada anggapan bahwa pemerintah lebih bisa daripada universitas. Kebiasaan inilah yang menyebabkan kampus-kampus Indonesia telat mengantisipasi perubahan zaman. Wajar kalau kampus akhirnya sering terkaget-kaget menyaksikan perkembangan aplikasi daring di dunia bisnis.
Apa yang harus dilakukan agar PT kembali menjadi sumber inovasi, iptek, dan agen perubahan? Beberapa hal yang harus dilakukan adalah: 1) Berikan otonomi kampus, 2) Buang kebiasaan pelaporan seperti proyek yang berbasis laporan administrasi, 3) Di internal kampus, bangun ekosistem keterbukaan, manfaatkan IoT (seperti MOOCs, coursera, Khan Academic) sebagai salah satu sumber belajar, kembangkan pola community-student centered learning. Serta satu lagi, kurangi kebiasaan birokrasi berlebihan. Tanpa itu semua, PT di Indonesia hanya akan menjadi penonton setia. Jangan sampai terjadi!