MENGOPTIMUMKAN BONUS DEMOGRAFI MELALUI PENDIDIKAN ENTREPRENEUR
Asep Saefuddin
Guru Besar Statistika FMIPA IPB / Rektor UAI
Pengantar
Bonus demografi adalah limpahan usia muda saat ini (sejak tahun 2010) yang kelak akan menjadi modal insani (human capital) di tahun 2016-2050. Selain itu, bonus demografi juga dicirikan dengan rendahnya jumlah orang di usia 65 ke atas serta usia di bawah 14 tahun, sehingga terjadi rasio ketergantungan menjadi rendah. Dalam bahasa lain, bonus demografi adalah usia produktif yang tinggi pada saat usia non-produktif rendah. Indikator ini baru berbicara soal statistik yang relatif pasif, belum berarti berkah. Pertanyaannya adalah bagaimana agar angka ini menjadi bermakna dan hidup. Artinya apa upaya kita untuk mengoptimumkan agar bonus demografi ini menjadi bonus ekonomi yang berefek kepada kesejahteraan. Inilah persoalannya.
Harus difahami bahwa kesejahteraan masyarakat di suatu negara itu bukan hanya dikarenakan oleh kekayaan sumberdaya alamnya (SDA) saja dan bukan juga karena usia negara itu. Tetapi kesejahteraan itu berkaiatan dengan kreatifitas bangsanya di dalam mengolah SDA yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dengan tetap memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Jadi kesejahteraan akan berkaitan dengan keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang berbasis pada man made capitalalias teknologi. Dan hal itu bertumpu pada modal insani kreatif-inovatif yang memahami juga modal sosial serta aspek-aspek lingkungan hidup. Berhubung Indonesia mempunyai kekuatan SDA sebagai keunggulan komparatif (comparative advantage), letak geografis, dan keragaman budaya, maka Indonesia bisa menjadi negara dengan keunggulan ‘distingtif’ (distinctive advantage) yang bisa melipatgandakan nilai tambah. Hal ini bisa terwujud jika dan hanya jika kita mempunyai modal insani yang handal, kreatif, inovatif, tangguh, dan mampu bekerjasama atau gotong royong. Inilah tugas pendidikan!
Kesejahteraan dan Entrepreneur
Hasil riset ahli entrepreneur bisnis (McLelan, 1978) menunjukkan bahwa sebuah negara akan mampu mencapai level kesejahteraan yang baik bila memiliki sedikitnya 2% entrepreneur. Entrepreneur jenis ini dapat memperkerjakan lebih dari 60 orang dalam bisnisnya. Tahun 2013 USA telah memiliki sekitar 11% dan Singapura sekitar 7%. Sedangkan Indonesia hanya sekitar 0.02%, itupun bagi entrepreneur yang bisa memperkerjakan sekitar 7-8 orang saja. Adapun entrepreneur yang mampu memperkerjakan lebih dari 60 orang itu hanya sekitar 0.002% (Diolah dari sumber data BPS, 2013). Artinya masih jauh dari standar minimum jumlah entrepreneur di sebuah negara yang dapat mengangkat kesejahteraan.
Bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 240 juta, maka entrepreneur yang dapat memperkerjakan tenaga saat ini hanya sekitar 48.000 orang saja. Saat ini memang Indonesia memiliki entrepreneur kelas mikro yang hanya mampu menghidupi dirinya sendiri atau memperkerjakan satu-dua orang tanpa keahlian apapun dan berpendapatan kecil, sehingga mereka tidak wajib pajak. Kelompok ini ada sekitar 24% atau sekitar 58 juta orang yang hanya mampu menyedot tenaga kerja murah sekitar 100 juta orang. Jadi, secara kumulatif para entrepreneur ini dapat menyedot tenaga kerja sekitar 110 juta (diolah dari data BPS, 2013). Selain jumlah tersebut masih kecil dalam kelompok jenis usaha sektor informal, sehingga pada umumnya belum masuk ke dalam kategori wajib pajak. Artinya modal insani ini belum bisa meningkatkan pendapatan negara yang ujungnya sulit mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Walaupun mereka tidak terlalu membebani negara.
Bayangkan bila kita mempunyai 2% saja dari entrepreneur yang bisa menyerap tenaga kerja sekitar 60 orang, maka akan dibutuhkan tenaga kerja sebesar 290 juta. Artinya bonus demografi usia produktif Indonesia itu akan terserap semua, bahkan kekurangan sehingga harus membuka pintu bagi orang asing. Hitungan matematika sederhana bila keadaan terus seperti sekarang dan asumsi ruang kosong (ceteris paribus), akan diperlukan waktu 1000 tahun lagi untuk mencapai titik 2% entrepreneur. Dalam perkataan lain, tanpa upaya keras dan cerdas, tidak akan pernah dicapai kondisi pada titik 2% entrepreneur itu. Dus, diperlukan upaya kreatif dan ekstra keras dalam menanggulangi masalah ini bila tidak mau menunggu seribu tahun lagi. Di dalam konteks ini diperlukan pola pendidikan yang dapat menggerakkan jiwa entrepreneur.
Informasi di atas diperlukan untuk mengemas pendidikan agar bonus demografi ini menjadi anugrah, bukan petaka. Dia akan menjadi petaka bila kita tidak memanfaatkan bonus yang tidak akan datang terus-menerus ini dan pada saat yang sama usia produktif menjadi mubazir. Padahal di usia emas ini segala sesuatu yang berkaitan dengan konsumsi dan energi tentu lebih banyak ketimbang usia anak-anal dan usia tua.
Berkaitan dengan pendidikan, posisi yang berkaitan dengan usia produktif itu berada di sekitar sekolah menengah atas dan universitas. Pada dasarnya, program studi apapun yang ditekuni siswa dan mahasiswa, jiwa entrepreneur ini harus dibiasakan di dunia pendidikan. Entrepreneur berkaitan dengan kemampuan membaca peluang, bekerjasama, tekun, berusaha mencapai puncak (tidak mediocre), berusaha melayani orang lain sebaik-baiknya, dan sifat-sifat yang berkaitan dengan kerja keras, cerdas, dan tidak mau mengecewakan orang lain. Sifat-sifat dasar inilah yang harus selalu ditanamkan dan dijalankan dalam proses pendidikan. Selain itu, untuk meningkatkan daya komunikasi kita, para siswa dan mahasiswa harus menguasai bahasa Inggris secara baik (tertulis dan lisan) serta satu lagi bahasa asing lainnya yang sering dipergunakan di ASEAN seperti bahasa Mandarin misalnya.
Ditinjau dari kelembagaanya, pendidikan kejuruan dan politeknik atau vokasi harus lebih banyak daripada pendidikan yang berorientasi akademik (Sarjana, Magister, dan Doktor). Disesuaikan dengan keunggulan komparatif Indonesia serta kebutuhan pasar domestik/global, beberapa prioritas program studi adalah budidaya pertanian (teknologi benih, pemuliaan ternak/tanaman/ikan, teknik/mekanisasi), pertambangan (industrialisasi hilir), pengobatan dan farmasi (terutama herbal medicine), teknologi dan ilmu komputer, teknik penerbangan (memperkuat industri perkapalan nasional, pesawat ukuran kecil untuk menjembatani lokasi kepulauan), teknik kimia (untuk hilirisasi industri pertanian, pertambangan, kesehatan), keteknikan elektro (untuk menjawab industri elektronika), teknik perkapalan (menjawab poros maritim, transportasi laut dan nelayan), teknik mesin (untuk keperluan mesin pertanian, kendaraan yang hemat energi), dan teknik metalurgi (pemanfaatan logam untuk manufakturing).
Kegiatan Riset, Pendidikan Tinggi, dan Industri
Pendidikan Tinggi dan industri harus disatukan (dalam arti senyawa, bukan sekedar campuran) untuk mengoptimumkan kinerja perguruan tinggi sesuai dengan kebutuhan pasar. Riset-riset di Perguruan Tinggi jangan hanya berorientasi pada outputlaporan administrasi yang tidak berdampak pada pembangkitan pengetahuan (knowledge creation) dan kebutuhan industri. Jadi industri harus menyampaikan kebutuhan riel yang berkaitan dengan bisnisnya, termasuk produktifitas (kuantitas, efesiensi, efektifitas) dan kualitas. Sehingga outputriset juga semakin jelas. Hasil karya ini juga bisa dimuat dalam jurnal ilmiah sebagai promosi kepakaran sekaligus juga dapat diterapkan untuk kepentingan bisnis. Karena perilaku pasar ini juga tidak statis, maka risetnya pun akan selalu dinamis dan tidak akan pernah berhenti di satu titik. Jadi akan terus bergerak selama bisnis industrinya berjalan, dan bahkan bisa meningkat akibat penemuan-penemuan dalam riset. Jadi, dana riset tidak harus tergantung kepada pemerintah (APBN) yang sangat terbatas itu. Bila riset terlalu berbasis laporan administratif, selain sulit terus berkembang, juga daya kreatifitas peneliti akan berkurang. Jadi, menyatukan kegiatan riset dan dunia industri itu diperlukan kepiawaian manajemen entrepreneur, bukan birokrasi yang berat dengan administrasi. Tidak mustahil pola penempatan tenaga industri sebagai dosen di universitas dengan tugas spesifik, misalnya riset bidang tertentu (sesuai dengan tipe industrinya). Model ini di USA/Kanada dikenal dengan pola adjunct professorship.
Penemuan-penemuan di universitas harus dapat dipergunakan baik untuk keperluan kampus itu sendiri ataupun industri secara luas. Mahasiswa dibawa ke dalam suasana entrepreneurship dalam mengotak-atik teknologinya. Misalnya bila mahasiswa dapat membuat mobil listrik, jangan sekedar prototipe pajangan. Tetapi mobil tersebut harus bisa dipergunakan untuk kendaraan kampus. Sehingga mahasiswa lain dapat merasakan mobil listrik hasil karya temannya dari program studi mesin. Selain itu, juga untuk mengurangi emisi gas di wilayah kampus. Dalam skala luas, bisa saja penemuan ini diadopsi pemerintah daerah untuk keperluan transportasi lokal. Dan banyak hal lain lagi yang bisa membangun kultur entrepreneur mahasiswa.
Produk jenis apapun selalu berkaitan dengan pasar, rantai pasok, preferensi, dan berbagai hal lainnya yang tentu memerlukan riset terintegrasi. Dengan demikian, keterbukaan antar program studi harus semakin lebar karena ke depan dunia riset akan semakin transdisiplin. Satu keahlian tanpa bekerjasama dengan keahlian lainnya akan sulit berkembang. Itu pun harus menjadi bagian dari kultur akademik di lembaga pendidikan Pola ini, sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang kelak akan mengisi dunia bisnis, juga kesehatan keuangan universitas. Sebaiknya akreditasi pun memasukan konsep ini ke dalam penilaian. Jangan terlalu terjebak borang proses kecil-kecil yang sudah menjadi ranah akademik di kampus. Akreditasi harus dibuat sederhana berbasis pada outputdan outcome.
Lembaga Pendidikan dan Perbankan
Para calon entrepreneur yang sedang belajar di SMK atau terutama di perguruan tinggi politeknik, harus disiapkan sejak dini untuk mengisi bisnis 3-4 tahun yang akan datang. Selama di perkuliahan mereka dilatih untuk berbisnis dengan membuat proposal yang secara ekonomi fleasible, marketable, dan bankable. Mereka diberi kesempatan untuk membuat perusahaan pemula (start up company) yang didukung oleh kebijakan dan perbankan.
Perbankan dan regulasi pemerintah tentu harus ada kepedulian terhadap masa depan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat banyak, bukan sekedar konglomerat. Untuk itu ketentuan-ketentuan yang bersifat umum berkaitan dengan keuangan dapat dikompensasi dengan jaminan proses pendidikan entrepreneur di kampus, sehingga bunga bank tidak terlalu tinggi, kolateral cukup dengan kepastian model dan jenis usaha yang diusung. Lembaga perguruan tingginya yang memberikan jaminan kelayakan bisnis.
Tentunya mahasiswa sebagai calon entrepreneur harus mampu membuat prioritas bisnis, riset pasar, bekerjasama antar bidang, memahami esensi studi kelayakan, perencanaan bisnis, dan manajemen bisnis. Di sinilah mereka dituntut untuk berpikir kreatif, terampil, dan mampu memanfaatkan peluang, sehingga perusahaan pemula tersebut dalam kurun waktu tertentu, menjadi perusahaan menengah atau besar sehingga dapat merekrut tenaga terampil dari SMK-politeknik. Bila satu universitas diwajibkan dapat membentuk rata-rata 100 entrepreneur baru dalam satu tahun, berarti di Indonesia akan terbentuk sekitar 300.000 entrepreneur/tahun (di Indonesia ada sekitar 3000 kampus). Untuk tujuan ini perusahaan pemula yang sukses dapat dijadikan indikator keberhasilan. Untuk kampus-kampus besar kewajiban jumlah ini bisa mencapai 500-1000 mahasiswa. Maka gagasan membentuk sejuta entrepreneur per tahun itu bukan suatu khayalan. Tetapi akan tetap menjadi khayalan bila tidak didukung oleh pengusaha, industri, perbankan, dan kebijakan pemerintah.
Penutup
Secara umum pendidikan harus mengoptimumkan bonus demografi ini dengan pola kurikulum entrepreneur. Model ini menyuasanakan agar mahasiswa dapat berinovasi, memahamai dan empati terhadap persoalan, memberikan solusi terhadap persoalan, melakukan uji langsung terhadap solusi yang diusulkan (terutama dalam hal berbisnis). Mahasiswa dapat bereksperimen dengan bidang keilmuan (teknologi) yang diperlajari sekaligus membuka diri untuk bekerjasama dengan bidang lainnya.
Industri, pemerintah, dan perbankan harus betul-betul berkeinginan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kekuatan entrepreneur. Perlu disadari bahwa semua hal tidak bisa langsung jadi, tetapi tidak akan terjadi bila tidak dimulai. Pada saat bonus demografi inilah kita harus memulai. Semoga.