PANDEMI COVID-19 : PEREMPUAN YANG SEMAKIN MARGINAL
Titik Pantjoro *)
Pandemi COVID-19 yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia telah memberikan dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan. Pada setiap situasi krisis, terdapat kelompok yang paling rentan yaitu perempuan dan anak perempuan. Bahkan dalam keadaan krisis, eksploitasi, diskriminasi dan kesenjangan serta kekerasan selalu hadir, sehingga terdapat ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan dan kelompok marginal lainnya, seperti kelompok disabilitas, serta mereka yang memiliki ketidakmampuan ekonomi, sehingga kondisinya menjadi kian memburuk.
Adanya kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) untuk memutus mata rantai penularan Covid 19 di beberapa daerah, berdampak signifikan bagi perempuan, baik dari sisi kesehatan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi sehingga memiliki beban yang kian berat, meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung. Perempuan semakin rentan menjadi korban kekerasan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63 persen dari total pengaduan sepanjang 2019. Mayoritas laporan masuk pada April atau bulan kedua kebijakan PSBB berjalan di sejumlah daerah Indonesia. Angkanya mencapai 232 laporan. Lebih banyak dari bulan sebelumnya yang 181 laporan. Sedangkan, pada Mei sebanyak 207 laporan. Ranah kasus kekerasan paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/ranah personal (RP). Proporsinya mencapai 69 persen dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Disusul kekerasan di ranah komunitas (30 persen) dan negara (1 persen ). Di samping itu, hasil kajian Komnas Perempuan melalui daring menunjukkan temuan bahwa, sebanyak 80 persen responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi, dan mereka merasa mendapatkan tekanan dan merasakan stress. Kekerasan fisik dan seksual terutama meningkat pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah. Hal ini mengindikasikan pengaruh tekanan ekonomi pada potensi kekerasan di dalam rumah tangga. (Komnas Perempuan, 2020). Kerentanan perempuan terhadap kekerasan pada masa pandemi juga berkaitan dengan, akibat menurunnya pendapatan rumah tangga, baik karena pemotongan gaji, bahkan kehilangan pekerjaan. Ketika pendapatan rumah tangga berkurang, ketegangan dalam rumah tinggi akan meningkat. Perempuan akan menjadi sasaran bagi para pelaku kekerasan, yang sering kali menggunakan kesulitan finansial sebagai alasan di balik kekerasan yang dilakukan. Hal itu juga berkaitan dengan kecenderungan bahwa korban KDRT berasal dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Tekanan dari sisi kesehatan dan ekonomi, ditambah adanya PSBB, dapat menambah beban bagi banyak orang, yang dapat menyebabkan konflik. Adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan, tentu semakin meningkatkan trauma bagi perempuan, sehingga daya tahan tubuh untuk menangkal penyakit juga menurun.
Dampak pandemi COVID-19 juga terjadi pada kesehatan reproduksi. Hal itu terkait dengan penurunan akses layanan fasilitas kesehatan reproduksi selama masa pandemi. Disamping itu juga terjadi pengurangan kunjungan masyarakat ke fasilitas kesehatan. Salah satunya pada penurunan jumlah peserta KB aktif maupun peserta KB baru yang ingin mendapatkan pelayanan keluarga berencana. Berdasarkan data BKKBN, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) sepanjang bulan Maret turun dari 36.155 menjadi 23.383, implan turun dari 81.062 menjadi 51.536 dalam sebulan. Sedangkan metode suntik dari 524.989, menjadi 341.109, demikian pula metode pil dari 251.619 menjadi 146.767. Adapun vasektomi untuk lelaki dari 2.283 menjadi 1.196 saja, dan tubektomi perempuan dari 13.571 menjadi 8.093 (BKKBN, 2020). Kondisi ini berpotensi terhadap meningkatnya risiko kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, dalam konteks budaya patriarkhi, perempuan cenderung tidak memiliki kekuatan membuat keputusan ketika wabah berlangsung, dan akibatnya sebagian besar kebutuhan kesehatan reproduksi mereka tidak tepenuhi. Lebih dari itu bahkan perempuan tidak memiliki otonomi untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan reproduksi mereka sendiri. Hal tersebut diperparah dengan terbatasnya sumber keuangan sehingga sulit bagi perempuan mengakses layanan kesehatan, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi anak-anaknya.
Sementara itu, dampak pandemi terhadap perempuan juga terlihat dari sisi meningkatnya beban perempuan pada sektor domestik. Di Indonesia, perempuan cenderung dianggap bertanggung jawab dalam untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, mulai dari menyiapkan dan menyediakan makanan, pengasuhan anak, termasuk membantu pendampingan belajar anak. Adanya School From Home (SFH), juga cenderung menjadi “tambahan beban”. Sebagaimana dikemukakan oleh Setyorini (2020), bahwa : terdapat 1 dari 3 perempuan dari 71 juta rumah tangga di Indonesia terdampak SFH, karena harus mendampingi anak- anak belajar dari rumah. Meskipun ibu bekerja, pada saat Work From Home (WFH) , juga melakukan pendampingan terhadap belajar anak-anaknya yang tidak dilakukan oleh laki-laki.
Berdasarkan hasil kajian Komnas Perempuan, melalui survei daring mengidentifikasi bahwa kerentanan pada beban kerja berlipat ganda, terutama yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari 5 juta rupiah per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi COVID-19. Beban pekerjaan rumah tangga selama COVID19 secara umum masih ditanggung oleh perempuan, dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari 3 jam berjumlah dua kali lipat daripada responden yang laki-laki. Diketahui bahwa 1 dari 3 reponden yang melaporkan bahwa bertambahnya pekerjaan rumah tangga menyebutkan bahwa dirinya mengalami stres ( Komnas Perempuan, 2020).
Selain berpengaruh terhadap kesehatan mental, dan kesehatan reproduksi serta adanya beban peran perempuan, pandemi Covid-19 memberi dampak berganda terhadap kondisi perempuan pekerja. Tekanan pandemi juga berpengaruh terhadap kelangsungan usaha baik di sektor formal maupun informal. Covid-19 telah menempatkan perempuan dalam kondisi yang tak menguntungkan. Kebijakan WFH, secara tidak proporsional mempengaruhi pekerja perempuan dalam banyak hal, serta memperburuk ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja. Berbeda dengan krisis sebelumnya, saat ini pekerjaan perempuan tertimpa risiko lebih besar dibandingkan pekerjaan laki-laki, terutama karena dampak penurunan pada sektor jasa. Pada saat yang sama, perempuan menjadi penyumbang sebagian besar pekerja dalam pekerjaan garis depan, terutama di sektor kesehatan dan perawatan sosial. Selain itu, meningkatnya beban perawatan tidak dibayar yang ditimbulkan oleh krisis lebih banyak berdampak pada perempuan dibandingkan laki-laki. (ILO,2020).
Perempuan dan Bonus Demografi
Menurut Wongboonsin dkk(2003), bonus demografi adalah keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka Panjang. Sedangkan menurut John Ross (2004), bonus demografi terjadi karena penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang menurunkan proporsi penduduk muda sehingga investasi untuk pemenuhan kebutuhannya berkurang dan sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Salah satu prsayarat untuk mencapai kondisi bonus demografi yaitu meningkatnya perempuan dalam pasar kerja. (Bloom,2003). Saat ini Indonesia sedang memasuki periode dengan rasio ketergantungan pada titik terendah. Berdasar proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, puncak bonus demografi akan berlangsung pada 2021-2022, dengan angka ketergantungan mencapai titik terendah yaitu 45,4, sehingga peluang mencapai bonus demografi semakin besar
Namun hadirnya pandemi COVID-19, semakin memposisikan pekerja perempuan dalam kondisi marginal. Sebagaimana dikemukakan oleh ILO (2020) bahwa pada tataran global, COVID-19 secara tidak proporsional mempengaruhi pekerja perempuan serta memperburuk ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja. Kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia, terkait dengan pekerja perempuan mempunyai proporsi yang cukup besar pada sector ssektor yang terdampak COVID-19. Sektor akomodasi, makanan dan minuman, proporsi perempuan sebanyak 58,2 persen atau sebanyak 4,95 juta dari total pekerja di sektor tersebut yaitu 8,5 juta. Demikian pula pada sektor perdagangan, proporsi perempuan sebanyak 49 persen, dari 24,4 juta atau 12, 08 juta. Untuk sektor industri pengolahan yang berjumlah 19,1 juta orang, sebanyak 43,1 %nya adalah perempuan (8,23 juta) . Analisis lain yang mendukung lemahnya pekerja perempuan dilakukan oleh Setyorini (220), bahwa : perempuan banyak bekerja di sektor yang terdampak COVID-19, terutama ”hospitality”, kesehatan, manufaktur dan perdagangan, sehingga pekerja perempuan lebih “terpukul” dengan adanya COVID-19 serta rentan kehilangan pekerjaan, karena 72 persen yang bekerja di sektor “hospitality” bekerja tanpa kontrak, serta sektor perdagangan sekitar 57 persen. Gambaran tersebut tentu belum dapat mendukung posisi pekerja perempuan untuk dapat membantu meningkatkan kesejahteraan keluarganya dengan masuk pada pasar kerja, sebagaimana disyaratkan untuk mencapai peluang bonus demografi. Demikian pula dari sisi non ekonomi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyediaan layanan kesehatan perempuan yang terganggu akibat pandemi Covid -19, serta l tentu berpengaruh terhadap kualitas hidup perempuan secara umum.
Untuk itu, diperlukan kebijakan yang responsif gender termasuk dalam penanganan Covid -19 sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional, untuk membantu mereka yang paling terpukul secara ekonomi, paling parah secara ekonomi dapat pulih, termasuk perempuan. Diantaranya stimulus ekonomi untuk perempuan selama dan pasca wabah untuk membuat mereka kembali bekerja.
Rujukan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik dan United Nations Population Fund, (2018), Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, Jakarta
Bloom, D., Canning, D., & Sevilla, J. (2003). The Demographic Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change. Santa Monica: RAND Corporation.
International Labour Office (ILO),(2020), Pemantauan ILO Edisi ke-5: COVID-19 dan Dunia Kerja, EStimasi dan Analisis Baru, International Labour Organization, Geneva.
Setyonaluri, Dianhadi,(2020), Aspek Gender Dampak COVID-19 : Catatan dari Hasil Survei Sosial Demografi Dampak COVID-19, Badan Pusat Statistik, disampaikan dalam Webinar “Membedah Hasil-Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 Pengaruhnya Pada Perilaku dan Produktivitas Penduduk, 13 Juni 2020..
Sumber Internet
“Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Covid-19 – Analisis Data Katadata” , https://katadata.co.id/0/analisisdata/5f69619121b54/kekerasan-terhadap-perempuan-di-masa-covid-19, diunggah 5 Agustus 2020.