PILIHAN ANTARA EKSPANSI ATAU KUALITAS
Indonesia, saat ini sedang berada pada sebuah era yang dikenal dengan demographic dividend, atau lebih populer dengan istilah era bonus demografi; yaitu, suatu peristiwa yang ditandai oleh jumlah penduduk usia produktif sudah lebih besar dibanding penduduk usia non-produktif (100 : <50).
Era bonus demografi ini hanya akan dialami 1 (satu) kali sepanjang sejarah Republik Indonesia, dan diperkirakan terjadi sejak tahun 2012 hingga tahun 2045 nanti, dengan tingkat ketergantungan terendah terjadi pada tahun 2028 hingga 2031.
Demografi, dalam konteks bonus demografi Indonesia, bukan saja memiliki arti penting dan strategis melainkan justru sudah sangat mendesak untuk ditangani dan diatasi secara sungguh-sungguh oleh semua pihak, terutama dukungan dan komitmen kuat Pemeritah; agar besaran jumlah penduduk usia produktif pada akhirnya benar-benar menjadi ‘bonus’ dan bukan malah sebaliknya berakhir sebagai ‘malapetaka’ demografi.
Indonesia sangat diuntungkan dengan jumlah besar usia produktif mengingat pertama, ketika struktur usia penduduk dibanyak belahan dunia sedang dan sudah di tahap gejala penuaan (population ageing), struktur usia penduduk Indonesia justru dibanjiri oleh kaum muda usia produktif. Diperkirakan pada puncaknya nanti, jumlah usia produktif akan mencapai sekitar 68% dari total jumlah penduduk, dimana 45% nya terdiri dari kaum muda. Kedua, perbandingan dengan Negara-negara di kawasan Asia Tenggara, saat ini penduduk usia produktif Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Negara lainnya, yakni sekitar 41% dari total penduduk usia produktif di kawasan tersebut.
Dari gambaran struktur dan komposisi jumlah penduduk usia produktif di atas tentu hal tersebut mengisyaratkan peluang untuk mengisi kebutuhan pasar kerja internasional sangat terbuka. Pertanyaannya adalah seberapa mampu daya saing usia produktif kita untuk dapat meraih peluang itu mengingat sekalipun berjumlah besar namun hal itu belum menjadi jaminan keberhasilan merebut pasar kerja Internasional. Sementara, di era globalisasi yang ditompang kemajuan pesat teknologi digital, pergulatan memperebutkan pasar kerja akan kian ketat dan keras, baik di pasar kerja internasional, regional maupun lokal (dalam negeri); pergumulan merebut peluang bukan saja terjadi antarsesama anak bangsa melainkan berhadapan juga dengan bangsa lainnya.
DAYA SAING; ANTARA KUALITAS DAN KUANTITAS.
Pada seminar nasional demografi yang diselenggarakan oleh Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), 04 Desember 2017, Menteri PPN/Bappenas, Prof. Dr. Bambang P.S. Brojonegoro, menyampaikan pendapatnya, bahwa tantangan kependudukan (dalam artian demografi), antara lain, adalah banyaknya pengangguran penduduk usia muda. Untuk itu perlu dicari solusi yang tepat.
Hal tersebut selaras dengan data statistik yang diterbitkan BPS, 06 November 2017, di manaTingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai angka 7,04 juta, dengan komposisi sebagai berikut: (a). Jenjang Pendidikan Dasar mencapai 8.16% (SD 2,62% dan SMP 5,54%); (b). jenjang Pendidikan Menengah 19, 70% (SMA 8,29%, dan SMK 11,41%); jenjang Perguruan Tinggi mencapai 12,06% (Diploma 6,88% dan Universitas 5,18%). Tingkat pengangguran tersebut belum terhitung kaum muda yang ada di katagori pengangguran terselubung (9,14 juta), dan yang tidak dimasukkan/dihitung sebagai angkatan kerja, yaitu kelompok ‘mengurusi rumah tangga’ (39,92 juta) dan kelompok ‘lain-lain’ (7,61 juta).
Ada perkembangan menarik berdasarkan data BPS per- Agustus 2018 dimana jumlah TPT mengalami penurunan sampai 5,34%, atau setara rata-rata 40 ribu selama satu tahun terakhir. Akan tetapi TPT untuk SMK masih mendominasi dan penurunannya hanya 0,17%, dari 11.41% (2017) menjadi 11,24% (2018).
Dari perbandingan data di atas tampak jumlah pengangguran lulusan jenjang pendidikan menengah dan tinggi jauh di atas jenjang pendidikan dasar. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan dan sedikit ganjil karena semestinya tingkat pendidik akan berbanding lurus dan sebangun dengan serapan tenaga kerja, terutama SMK dan Diploma. Artinya, yang seharusnya terjadi ialah semakin tinggi jenjang pendidikan maka akan semakin kecil tingkat pengangguran lulusan dari jenjang pendidikan tersebut. Atau semakin besar terserap lapangan kerja.
Sepertinya Pemerintah sudah menangkap gejala ketidakselarasan antara lulusan, terutama SMK dan Perguruan Tinggi, dengan keterserapannya di pasar kerja. Misal, terlihat dari program revitalisasi SMK yang disertai dengan ekspansi penambahan SMK baru. Contoh lain, dihidupkannya kembali program link and match melalui MoU Pengembangan Pendidikan Vokasi. Bahkan lebih jauh, Presiden Joko Widodo dalam kata pembuka di rapat terbatas mengenai pendidikan vokasi dan implementasinya, 16 November 2017, seperti dilansir portal Sekretariat Kabinet RI, Presiden Joko Widodo menegaskan, pertama, perlunya revisi undang-undang pendidikan (UU Sisdiknas). Kedua, perlunya perubahan mendasar di dunia pendidikan agar pembangunan sumber daya manusia dapat mengantisipasi dan mengikuti perubahan cepat global.
Diperkirakan pada tahun 2030 nanti dibutuhkan sekitar 58 juta tenaga terampil yang siap kerja; memiliki kemampuan untuk dapat langsung terserap dilapangan kerja. Itu sebab, pemerintah secara khusus memberikan perhatian pada pengembangan pendidikan vokasi, dalam artian luas. Akan tetapi perlu untuk dipertimbang-kan bahwa perkembangan kemajuan teknologi mengalami perubahan inovasi yang sangat pesat dan cepat, sehingga perlu dikaji secara lebih mendalam terkait postur pendidikan kita untuk waktu kedepan; sisi mana yang terlebih dahulu harus diprioritaskan diantara peningkatan mutu pendidikan dengan ekspansi sekolah, SMK dalam hal ini. Apakah kebijakan perbandingan SMK dengan SMA (67:33) masih relevan dan mampu menjawab tantangan demografi? Bagaimana pendidikan nasional kita menciptakan potensi demografi menjadi bonus. Semoga segala upaya dunia pendidikan kita dapat memanfaatkan secara optimal jendela peluang (window of opportunity) bonus demografi… Semoga.
***