WANITA DAN KODRAT
Saya ingat ketika awal kuliah mengambil sarjana masih berusia 19 an saya dan teman-teman wanita berbicara dengan penuh semangat, tentang perlunya bersikap tegar, berdikari menjadi seorang wanita karir sukses, mempertahankan kemandirian dan tidak tergantung dengan laki-laki .
Begitu banyak ketidak-adilan tentang wanita yang terdengar oleh wanita-wanita seumur kami pada waktu itu. Pada tahap dibangunnya sebuah pernikahan maka mulailah wanita tidak dapat mengemukakan pendapatnya, suami yang membentak istrinya dan melarangnya berbicara kalau tidak diajak bicara, Suami yang mengharuskan selalu menyediakan makan malam, yang harus menyiapkan dan menyediakan semua keperluan suami dari urusan baju ,sepatu dan makanan. Bahkan kebersihan rumah dan perkembangan anak-anak adalah tanggung jawab istri. Dominasi pria begitu kuat sehingga sulit bagi wanita untuk menjadi dirinya sendiri.
Salah seorang teman saya yang cantik, cerdas dan mempunyai karir yang cemerlang akhirnya memutuskan untuk menikah. Kemudian Ia mengeluh bagaimana suaminya tidak mendukung karirnya dan merasa jati dirinya hilang karena sang suami terlalu dominan dan tidak pernah mau mengerti perasaannya. Tak lama terdengar perceraian mereka.
“Sulit bagi saya untuk menjadi diri saya” Katanya. Dan, kata-kata tersebut menjadi alasan pembenar bagi banyak wanita modern untuk menyembunyikan keadaan perkawinan mereka yang tidak bahagia, alasan yang dibuat hanya untuk mengalihkan kesalahannya dan melekatkan kepada sang suami yang berdasarkan “kodratnya” sebagai pria lebih kuat dan dominan. Kemudian wanita memandang dirinya sebagai korban.
Wanita modern mandiri yang mencari nafkah dan membiayai hidup sendiri bahkan bisa membiayai keluarganya,dapat mengurus semua pekerjaan termasuk pekerjaan laki-laki-laki, bisa kemanapun pergi dan memutuskan masalah-masalah mereka sendiri tanpa bantuan orang lain. Tapi ternyata kadang-kadang banyak cerita dari para wanita mandiri yang saya kenal, merasakan kemandirian itu semu dan seperti kepura-puraan yang hanya menyembunyikan hasrat kewanitaan tradisional. Hasrat untuk dilindungi, hasrat untuk dinafkahi, hasrat menjadi istri tradisional dan hasrat menjadi ibu yang baik. Kemandirian yang banyak dielu-elukan sebagian wanita modern dan oleh generasi saya sebagai suatu impian ternyata tidak sepenuhnya benar.
Ketika menghadapi dunia nyata para wanita yang sudah terbiasa memandang dirinya dan meyakini kemandiriannya ternyata goyah. Mungkin ada salah kaprah yang wanita modern yakini. Terlalu terobsesi oleh keinginan untuk mementingkan jati diri, tetapi lupa mengembangkan rasa saling menghargai atas kontribusi yang setara, walaupun tidak sama karena kodratnya yang berbeda.
Sebagai pria dan wanita kesetaraan yang perlu kita pahami adalah kesetaraan jiwa. Umumnya wanita menginginkankan agar suami mencintai dan menghargai, dan dapat mendiskusikan semua hal bersama serta memandang dirinya sebagai mitra yang sejajar dalam semua aspek hati dan pikiran. Alangkah indahnya jika demikian……
***