BOLEH KECEWA, GOLPUT JANGAN
Saya sedikit mengerutkan dahi ketika kawan bicara menyampaikan analisanya bahwa kemungkinan golput (golongan putih, istilah bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagaimana mestinya) akan tinggi, nyaris menyentuh angka 40%. Sehingga diperkirakan partisipasi masyarakat dalam pemilu 2019 mendatang akan semakin menurun dibandingkan pemilu 2014 lalu. Pada pilpres lalu prosentase golput mencapai angka tertinggi, sekitar 30% (tirto.id; 12/08/18), dan tidak tertutup kemungkinan naik seperti perkiraan kawan saya itu. Amatlah disayangkan bila memang hal itu benar-benar terjadi mengingat pileg dan pilpres merupakan bagian dari representasi politik masyarakat.
Beragam pendapat mengenai faktor penyebab kemungkinan rendahnya partisipasi itu telah banyak diutarakan, diantaranya, misal, salah satunya disebabkan oleh adanya sikap apatistik atas pengaruh signifikasi perkembangan demokrasi terhadap perubahan/perbaikan kehidupan masyarakat. Apatisme itu pun tidak tertutup kemungkinan sebagai bentuk protes masyarakat akibat perilaku anomali tokoh dan pemimpin baik di legislatif ataupun eksekutif sehingga reformasi dengan segala keindahan perubahan dirasakan semakin jauh, kurang menyentuh dan dilihat hanya bermanfaat bagi kelompok masyarakat tertentu saja. Atau, dengan banyaknya pilihan, secara teknis, malah mendorong semakin meningkatkan terjadinya golput. Pada tanggal 27 April 2019 nanti, suara pilihan diperuntukkan selain memilih Presiden juga memilih wakil rakyat secara serentak untuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD. Padahal masing-masing kertas suara pasti memuat begitu banyak nama. Dapat dibayangkan hal tersebut akan memusingkan dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi perubahan dari mencoblos ke mencontreng. Benarkah? Jawabannya tentu bisa iya dan bisa juga tidak.
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 214 huruf a,b,c,d,e Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur sistem nomor urut, tidak lepas dari semangat untuk menghargai hak-hak demokrasi warga negara atas “suara pilihan” yang diambilnya. Terlepas dari pro dan kontrak, keputusan tersebut tentu harus kita sambut karena melalui keputusan tersebut diharapkan akan dapat mengembalikan kepercayaan konstituen (masyarakat) terhadap partai atau tokoh perseorangan yang akan mereka pilih pada pemilu mendatang.
Memang ada bayang-bayang kekhawatiran dengan keputusan “suara terbanyak” sebagai penentu yang mengantarkan calon pemimpin atau wakil rakyat untuk duduk di lembaga yang terhormat itu. Seperti diungkapkan pengamat politik, Arbi Sanit, tentang kemungkinan lahirnya politisi maya (Kompas,29/12/08); di mana para politisi yang muncul nanti sesungguhnya tidak memiliki akar jaringan dan kapabilitas memadai. Demikian pula permainan jual beli suara pun diperkirakan akan marak terjadi, kemungkinan tidak tercapai keterwakilan 30% perempuan, dan masih banyak hal-hal tidak mengenakkan lainnya.
Peraturan sebenarnya hanyalah sebuah alat bukan sebuah tujuan. Kita patut bersyukur ternyata masih banyak orang-orang pintar di negeri ini mampu untuk membuat beragam peraturan. Segala kekhawatiran atas implikasi negatif dari keputusan Mahkamah Konstitusi dapat diminimalisir sehingga pemilihan yang demokratis dan mencerminkan keterwakilan suara rakyat dapat terwujud. Namun yang sesungguhnya sangat penting untuk kita perhatikan bersama adalah bagaimana menemukan wakil kita, calon pemimpin bangsa yang benar-benar mampu menyuarakan kepentingan, berperilaku dan bertindak bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Euforia politik harus kita akhiri dengan semangat berbuat dan membuat negeri ini lebih baik.
Kita boleh kecewa atas pencapaian reformasi yang belum maksimal, termasuk hingar bingar politik yang entah kapan akan mapan. Kita boleh kecewa belum menemukan lagi tokoh dan pimpinan bangsa sekualitas seperti era di awal negeri ini merdeka. Namun, kita tetap memiliki kepatuhan dan tanggungjawab atas keberlangsungan negeri ini dan golput bukan merupakan jalan keluarnya.
Salam…
***
pic: Geotimes