GOTONG ROYONGSTEREOTIPE BANGSA INDONESIA
MITOS ATAU REALITAS ?

DodoGotongroyong sebagai stereotipe positif bangsa Indonesia

Salah satu stereotipe bangsa Indonesia adalah berjiwa gotongroyong, setidaknya melalui pendekatan psikologi, antropologi maupun sosiologi, stereotipe tersebut mendekati kesepakatan banyak pandangan. Gotongroyong atau bekerja dalam kebersamaan oleh seluruh anggota dalam suatu kelompok atau komunitas masyarakat, merupakan bagian dari kearifan lokal dalam konstruksi sikap yang terbangun atas dasar rasa senasib – sepenanggungan, yang dilandasi keyakinan sebagai satu keluarga, yang terbentuk baik secara genealogi (keturunan) maupun territorial (wilayah).

Masyarakat Indonesia secara umum mengenal konsep gotongroyong dalam wujud kebersamaan pada kegiatan-kegiatan seperti: pengolahan sawah atau ladang; menangkap ikan di laut; perbaikan, membuat baru atau pindah rumah; perbaikan atau membuat baru rumah ibadah; upacara adat dan atau upacara keagamaan; dan lain sebagainya. Kebersamaan tersebut dikenal dengan berbagai istilah, antara lain: Nganyah di Bali; Sambatan di sebagian Jawa; Gugur Gunung di Yogyakarta; Song Osong Lombhung di Madura; Siadapari di Tapanuli Utara-Sumatera Barat; Hayak Tabuik di Pariaman-Sumatera Barat; Paleo di Nunukan-Kalimantan Timur; Mapalus di Minahasa-Sulawesi Utara; Ammossi di Bulukumba-Sulawesi Selatan; Pawonda di Sumba-NTT; Bani di Ternate-Maluku Utara; Helem Foi Kenamba Umbai di Jayapura-Papua; dan banyak lagi dalam adat masyarakat Indonesia.

Kearifan lokal tersebut terbangun atas dasar “Jiwa Bangsa” Indonesia (volkgeist), yang oleh Cornelis van Vollenhoven di waktu lampau yang dirumuskan dalam sembilanbelas lingkar adat dan hukum adat, yang memuat aturan-aturan perilaku hidup baik sebagai pribadi maupun dalam lingkup komunal, yang berjalan dalam tataran keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara manusia dengan lingkungan. Nilai-nilai tersebut kemudian oleh Sukarno dikristalisasikan sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia yang digali dari kandungan nilai-nilai luhur masyarakat nusantara sejak berabad-abad silam menjadi lima butir dalam Panca Sila.

Kristalisasi nilai tersebut hanya dapat diwujudkan dalam semangat kebersamaan dan dilaksanakan secara bersama baik sebagai dasar, landasan, pedoman maupun pengikat persatuan dan kesatuan. Kesadaran sebagai satu keluarga dan satu bangsa itulah yang menjadi dasar pergerakan menuju indonesia merdeka – merdeka sebagai bangsa yang berdaulat (17 Agustus 1945) kemudian sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh (18 Agustus 1945). Semua itu terwujud atas dasar semangat kebersamaan yang tumbuh atas dasar rasa senasib – sepenanggungan.

Gotongroyong sebagai roh pembangunan perekonomian nasional

Semangat gotongroyong sebagai stereotipe positif bangsa Indonesia menjadi roh utama bangun perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 45, sebagai wujud semangat kekeluargaan dan kebersamaan dalam tata kelola sumber daya alam dan optimalisasi peran sumber daya manusia. Konsepsi ideal tersebut memuat relevansi yang senantiasa mengikuti zaman dan selalu berorientasi pada paradigma integralistik.

Perkembangan selanjutnya semangat kebersamaan dalam pasal 33 UUD 45 sedikit bergeser dengan penambahan kata ‘efisiensi’ pada ayat ke empat (ayat tambahan). Penggunaan kata “Efisiensi” jelas menunjukan makna “Kapitalistik”, walaupun telah diperhalus dengan kata “berkeadilan”, sehingga paradigma integralistik bangsa Indonesia bergeser menjadi paradigma individualistik dan kapitalistik yang berorientasi pasar. Perubahan tersebut setidaknya menimbulkan beberapa gejala seperti: a) Mekanisme Kontrak Karya yang memberikan peluang terjadinya kolonialisasi gaya baru; dan b) Penafsiran yang rancu pada “Hak Menguasai Negara Atas Tanah dan Sumber Daya Ekonomi”, sebagaimana tertuang dalam produk-produk hukum yang mengatur hajat hidup orang banyak, seperti tentang pengelolaan sumber daya air, tentang minyak bumi dan gas alam, tentang ketenagalistrikan dan beberapa produk undang-undang lainnya.

Besarnya peluang untuk tumbuh berkembangnya liberalisasi dalam konstelasi perekonomian nasional melalui dominasi asing pada banyak sektor ekonomi, semakin mempertegas perbedaan tingkat kesejahteraan antar masyarakat sekaligus mempertegas juga bahwa tujuan….. memajukan kesejahteraan umum, ……., adalah hal yang tidak pernah mampu diwujudkan oleh pemerintah. Pembangunan ekonomi nasional bukanlah semata berorientasi meningkatkan pendapatan negara, namun yang utama untuk ‘mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat penuh terhadap segala sumber ekonomi yang terkandung di dalam bumi Indonesia’.

Harkat dan martabat merupakan simbol kedaulatan, utamanya kedaulatan atas tanah yang dipijaknya. Jika tanah yang dipijak kepemilikannya dikuasai oleh asing, maka yang terjadi sebagaimana di Freeport, Newmont dan lokasi-lokasi tambang atau perkebunan modal asing lainnya, masyarakat setempat di larang beraktifitas di tanah airnya sendiri, karena telah menjadi wilayah privat investasi asing. Artinya kedaulatan tersebut semakin terbatas hanya karena adanya kepentingan ekonomi bangsa lain yang dilindungi undang-undang. Akhirnya kerap terjadi gesekan dengan masyarakat lokal yang merasa terganggu hak-haknya, dalam beberapa kejadian, semangat gotongroyong masyarakat menjadi stereotipe negatif karena secara bersama melakukan hal-hal yang cenderung anarkis, walaupun yang mereka lakukan adalah menuntut haknya yang diserobot kepentingan lain.

Gotongroyong kini sekedar mitos atau masih realistis?

Gotongroyong mungkin sulit untuk didefinisikan dalam konteks kekinian terutama dalam kehidupan masyarakat di perkotaan, namun bukan berarti nilai-nilai tersebut hilang sama sekali. Gotongroyong kini kembali tampil sebagai jargon, yang dicoba oleh pemerintahan sekarang untuk dibangun lagi semangatnya. Masyarakat di pedesaan masih tetap memelihara semangat tersebut, hanya mungkin esensi filosofisnya mengalami pergeseran makna, dimana untuk melakukan kebersamaan tersebut perlu adanya dorongan atau bahkan perintah dan lebih pada hal-hal yang terkait dengan kepentingan yang terorganisir.

Gotongroyong yang ingin diupayakan untuk terbangun kembali adalah gotongroyong yang didorong oleh kepedulian pada kepentingan sesama, misal sebagian warga saling mendukung agar salah satu warganya yang sedang tidak berpenghasilan tetap, dapat memperoleh pekerjaan atau berwirausaha dengan modal bantuan pinjaman para tetangganya. Termasuk juga dengan membantu anak-anak sekolah yang keluarganya kurang mampu membiayai kebutuhan sekolahnya atau membantu biaya pengobatan bagi yang sakit. Semangat gotongroyong seperti ini dimasa lampau bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan di beberapa masyarakat Indonesia yang terikat oleh kesatuan adat dan budaya yang kuat, kebersamaan tersebut seolah menjadi satu kesatuan dengan aktifitas keseharian.

Masyarakat Minangkabau setidaknya mengenal pepatah yang menyatakan: Sawah gadang satampang baniah, makanan urang tigo luhak artinya sumber daya ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak dikuasai sebagai hak milik pribadi atau kelompok, tapi harus dikelola oleh nagari untuk kepentingan bersama; Padi kuniang, jagung maupiah, nagari aman, rakyat mardeso artinya sumber daya ekonomi milik bersama dan harus dikelola secara bersama; dan Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah, sirawang baragiah, sikutu dibalah artinya setiap hasil atau keuntungan hendaklah dibagi secara adil merata sesuai dengan andil masing-masing. Ketiga pitutur tersebut mengariskan secara ketat akan pentingnya kebersamaan pada seluruh warga nagari untuk senantiasa menjaga dan memelihara semangat gotongroyong tersebut.

Selain memelihara semangat dalam pengertian filosofis, masyarakat Minangkabau juga terbiasa dengan ‘sistem lumbung kaum’ yang terdiri dari tiga jenis lumbung, yakni ‘lumbung sitinjau’ yang menyimpan sebagian hasil usaha untuk keperluan menjamu tamu yang datang berkunjung; ‘lumbung sibayau-bayau’ untuk membantu keperluan masyarakat sekitar yang mengalami kesulitan maupun untuk keperluan sosial lainnya; dan ‘lumbung sitanggang litak’ untuk keperluan keluarga sendiri dan persediaan selama menunggu panen berikutnya. Konsep ‘lumbung’ ini memaknai kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau sebagai bagian kewajiban setiap kaum untuk selalu siap membantu antar warga kaumnya sendiri maupun kaum dari nagari tetangga.

Gotongroyong adalah nafas bangsa Indonesia dengan beragam penyebutan dan istilah yang sarat dengan muatan filosofis dengan pemaknaan tidak semata berdasarkan untung – rugi dan efisiensi, namun jauh lebih dalam karena menyangkut pada pola hidup yang berangkat atas keyakinan bahwa segala yang ada di bumi adalah milik Sang Pemberi Hidup dan manusia hanya memiliki hak untuk memelihara dan menjaga keseimbangannya. Lantas bagaimana gotongroyong sekarang ini? apakah masih terpelihara dengan baik atau tidak?. Jawabnya masih, hanya saja mengalami metamorfosa dalam pengejawantahannya yang terbalut dalam kepasifan inisiatif.

Dewasa ini semangat gotongroyong bangsa Indonesia tengah diuji oleh situasi dan kondisi perekonomian nasional yang terlilit masalah dengan dampak sistemik pada setiap sendi kehidupan masyarakat, mampukah gotongroyong menjadi solusi handal dari kondisi sulit tersebut, misalnya masukan pemikiran, ide-ide realistis, potensi jaringan dan terutama dukungan moral serta kepercayaan penuh dari segenap warga negara terutama pihak-pihak yang karena kepentingan politik yang berbeda menjadi berada pada posisi berseberangan, untuk selalu setia pada kepentingan bangsa dan negara. Jika itu semua dapat terwujud, maka gotongroyong akan mampu membuktikan diri sebagai realitas yang tetap hidup dalam jiwa masyarakat Indonesia, sebagai stereotipe positif bangsa Indonesia dan bukan hanya sekedar mitos.

***

you may also like