GUSTI NURUL : SANG BUNGA DARI MANGKUNEGARAN
“Filosofi kain dan kebaya adalah wanita harus banyak menahan diri dan jika ingin terlihat menarik memang memerlukan pengorbanan.”
Pada tahun 1937, di sebuah ruangan yang megah di bawah sinar lampu yang benderang, terlihat seorang gadis dengan pakaian Jawa menari dengan luwes nan indah. Tak ada peralatan musik gamelan yang terjajar. Namun sang penari mampu menari walau dengan diiringi oleh musik gamelan pengiring yang diputarkan langsung dari Pura Mangkunegaran melalui radio dengan suara terputus-putus. Bila saat ini bisalah disebut peristiwa itu secara teleconference. Ratu Wilhelmina mengundangnya datang ke Belanda untuk memeriahkan acara pernikahan putrinya, Juliana, dengan Pangeran Bernard. Saat itu sang penari baru berusia 15 tahun. Namun ia tak hanya mahir menari, ia juga seorang penunggang kuda yang hebat dimana kala itu masih tabu dan tak lazim bagi perempuan. Dan ia juga mahir berenang dan bermain tenis. Ratu Wilhelmina menjulukinya “De Bloem Van Mangkunegaran” atau Bunga dari Mangkunegaran karena kecantikan, kecerdasan dan sikap tegasnya. Sungguh siapakah dia?
Dia adalah seorang putri kraton yang bernama lengkap Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani. Ia adalah putri dari K.G.P.A.A. Mangkunegara VII dan G.K.R. Timur (putri dari Sultan Hamengkubuwono VII). Putri kraton ini biasa disapa dengan nama Gusti Nurul. Ia lahir pada 17 September 1921.
Kecantikannya menjadi buah bibir banyak orang waktu itu. Kecantikannya bak Dewi Sembadra, tokoh yang diceritakan dalam Kitab Bharatayudha dan Mahabharata, dimana digambarkan “Ketampanan manusia di bumi ini dibagi dua, setengah untuk Arjuna dan setengahnya dibagi untuk pria-pria lainnya. Kecantikan wanita di bumi ini juga dibagi dua, setengah untuk Dewi Sembadra dan setengah sisanya wanita-wanita lainnya”. Tak hanya cantik jelita, Gusti Nurul pun cerdas dan multitalenta. Ia pandai menunggang kuda, setiap sore menjelang senja ia rutin berlatih berkuda di Pamedan Mangkunegaran dan sudah barang tentu banyak pemuda yang berebut untuk menonton sang putri ketika berkuda karena ingin menyaksikan secara langsung kecantikannya. Selain pandai berkuda ia juga pandai berenang dan bermain tenis.
Karena kepandaian dan keluwesannya dalam menari, pada tahun 1937, saat usianya masih 15 tahun, Gusti Nurul diundang oleh Ratu Wilhelmina ke Belanda untuk menari pada acara pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernard. Ia berangkat ke Belanda bersama ayah dan ibundanya menggunakan kapal Marnix tanpa membawa serta peralatan musik gamelan. Sebagai gantinya, alunan gamelan pun dimainkan dari Pura Mangkunegaran dan dipancarkan secara langsung ke Belanda melalui Solosche Radio Vereeniging, yang merupakan radio pertama di Indonesia dan menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia (RRI) yang salah satu perintisnya juga adalah Gusti Nurul.
Tari Sari Tunggal (tari dari Kraton Yogyakarta yang selama ini dipelajari Gusti Nurul dari kakak ibunya, Pangeran Tedjo Kusumo) yang ditarikan Gusti Nurul berhasil mempesona banyak orang di acara pernikahan agung yang diadakan di Istana Noordeinde tersebut. Nama Gusti Nurul dan Pura Mangkunegaran pun menjadi perbincangan banyak orang mancanegara dan banyak surat kabar. Bahkan sebuah majalah legendaris Amerika Serikat “Life”, secara khusus menerbitkan foto Gusti Nurul yang sedang menari di hari pernikahan agung Putri Juliana dan Pangeran Bernard pada terbitan edisi tanggal 25 Januari 1937 sekaligus menjadi satu-satunya orang Indonesia yang fotonya pernah masuk dalam majalah Life.
Meskipun dibesarkan dalam lingkungan kraton, Gusti Nurul lebih memilih hidup dengan pemikiran yang melampaui zamannya. Menurut Martha Tilaar dalam Kecantikan Perempuan Timur (1999), Gusti Nurul adalah pakar dalam pengetahuan kosmetik tradisional dan jamu. Bahkan Martha Tilaar pun juga belajar tentang kosmetik dan jamu darinya. Tak heran Gusti Nurul mempunyai paras yang elok nan cantik jelita. Selain itu, Gusti Nurul juga seorang aktivis sosial. Dalam sejumlah catatan sejarah, berkat pendidikan barat yang dipelajarinya semasa sekolah, Gusti Nurul juga memberikan sumbangsih pemikiran yang sangat penting di masa pergolakan fisik pasca kemerdekaan, terutama di Solo dan sekitarnya. Maka tak heran jika Ratu Wilhelmina memberinya julukan “De Bloem Van Mangkunegaran” karena terkesima dengan kecantikan dan kepandaiannya.
Karena kecantikan dan kecerdasannya yang tersohor, banyak orang yang ingin mempersunting dirinya, termasuk para tokoh besar Indonesia. Tercatat ada empat tokoh besar Indonesia yang ingin meminangnya. Yang pertama Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Kesultanan Yogyakarta itu pernah mengajukan lamaran kepada Gusti Nurul pada saat sang ayah K.G.P.A.A. Mangkunegara VII masih hidup.
Namun Gusti Nurul terang-terangan menolak pinangan sang raja Yogyakarta itu. Alasannya karena pantang baginya seorang perempuan berpendidikan tinggi di zaman itu dimadu seperti yang dialami Kartini. Karena saking cintanya dengan Gusti Nurul, Sultan Hamengkubuwono IX pun akhirnya memutuskan untuk tidak mempunyai permaisuri hingga akhir hidupnya. Kelima istrinya pun tidak ada yang mendapat gelar permaisuri, karena sang sultan berkeinginan, gelar permaisuri hanya untuk Gusti Nurul seorang.
Beberapa pangeran dari kraton Surakarta Hadiningrat juga pernah menambatkan hati kepada Gusti Nurul. Salah satunya adalah Kolonel G.P.H. Djatikusumo (KSAD pertama), putra Sunan Pakubuwono X. Namun Gusti Nurul tetap teguh menolak karena sang pangeran sudah beristeri.
Di luar deretan bangsawan tersebut, Bung Karno juga sempat mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Sang Bunga dari Mangkunegaran itu. Melalui orang dekatnya, Gusti Nurul mengetahui bahwa Bung Karno menaruh hati padanya. Bung Karno pernah mengundang Gusti Nurul dalam sebuah jamuan santap siang di istana Cipanas Bogor, Jawa Barat. Gusti Nurul pun menerima undangan itu ditemani sang ibu, G.K.R. Timur. Bung Karno pun mengajaknya berjalan berdua mengelilingi ruang dalam istana. Mereka melihat-lihat koleksi lukisan yang terpasang di dinding. Dikala itulah Bung Karno meminta pelukis Basuki Abdullah melukis Gusti Nurul. Setelah lukisan itu jadi, lukisan tersebut kemudian dipasang di ruang kerja Presiden Soekarno di Istana Cipanas tersebut. Setelah melalui berbagai pendekatan tetap saja kharisma Bung Karno tak mampu meluluhkan hati Gusti Nurul dan cintanya tetap saja bertepuk sebelah tangan. Gusti Nurul menolak cinta Soekarno dengan alasan tidak setuju dengan praktik poligami karena saat itu Bung Karno sudah beristeri.
Dan tokoh besar Indonesia terakhir yang menaruh hati pada Gusti Nurul adalah Sutan Syahrir. Ternyata pada setiap rapat kabinet yang digelar di Yogyakarta, Sutan Syahrir selalu mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman ke Pura Mangkunegaran, khusus untuk mengantar kado spesial yang dibelinya di Jakarta untuk ditujukan kepada Gusti Nurul. Bersama kado tersebut juga terlampir sepucuk surat cinta tulisan tangan Syahrir. Bahkan pada Perjanjian Linggarjati, Sutan Syahrir pun mengundang khusus Gusti Nurul untuk datang bersama kakak (K.G.P.A.A. Mangkunegara VIII) dan ibunya (G.K.R. Timur). Selanjutnya Sutan Syahrir pun juga mengundang Gusti Nurul di Jakarta, jika Kraton Mangkunegaran diundang rapat ke istana Presiden. Bahkan pada suatu pertemuan dengan Gusti Nurul, Syahrir juga pernah membelai pipi dan dagu Gusti Nurul. Namun setelah banyak pendekatan yang dilakukan Sutan Syahrir tetap saja cintanya pada Gusti Nurul harus bertepuk sebelah tangan. Gusti Nurul menolak Syahrir dengan alasan tidak siap menikah dengan tokoh politik karena menurutnya resikonya terlalu besar.
Gusti Nurul pun belum menemukan pilihan yang cocok hingga usianya beranjak 30 tahun. Tentu usia yang terlalu tua bagi gadis jaman itu untuk belum menikah. Ini membuat banyak orang bertanya-tanya, siapa gerangan sebenarnya yang mampu menaklukan hatinya. Baru pada 24 Maret 1951, akhirnya terkuak siapa yang mampu menaklukan hati Gusti Nurul. Dan yang mampu menaklukan hatinya bukan bukanlah seorang pembesar atau tokoh terpandang, melainkan hanya seorang tentara. Pria beruntung itu adalah Surjo Sujarso, seorang kolonel militer dan juga sepupu dari Gusti Nurul sendiri.
Ternyata cinta tak harus jauh-jauh mengepakkan sayapnya. Kolonel Surjo Sujarso bukanlah sosok yang menonjol dalam tubuh TNI. Lulusan KMA Breda 1939 ini hanyalah perwira dibelakang meja yang diparkir Nasution di detasemen Kavaleri. Karakternya lembut, dengan tutur katanya yang sopan, khas didikan keluarga aristokrat. Setelah menikah, Gusti Nurul pun akhirnya tidak menetap lagi di Pura Mangkunegaran, namun ikut suaminya kemanapun berdinas hingga sang suami pensiun. Gusti Nurul pun hidup damai bersama suami dan anak-anaknya hingga hari tuanya di kota Bandung (setelah suaminya pensiun).
Gusti Nurul akhirnya wafat pada 10 November 2015 pada usia 94 tahun di RS Boromeus, Bandung setelah dua pekan dirawat akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Astana Girilayu, Karanganyar. Untuk mengenang Gusti Nurul, ada sebuah ruangan khusus di Museum Ullen Sentalu yang terletak di lereng Merapi, Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Museum tersebut berisi kenang-kenangan dan potret foto tentang perjalanan hidup Gusti Nurul. Selain itu juga ada pesan yang singkat nan mendalam Gusti Nurul kepada para kaum Hawa yaitu sebagai seorang wanita terhormat jangan pernah mau dimadu; meskipun suamimu tinggal di kolong jembatan, sebagai istri kamu harus senantiasa mendampingi; jika kamu memiliki rumah sendiri, saudara perempuanmu tidak boleh ikut. Ia juga mengajarkan bahwa cinta harus berlandaskan kepercayaan seperti tercermin dalam puisinya.
Kupu-kupu tanpa sayap
Tak ada di dunia ini
Mawar tanpa duri
Jarang ada atau boleh dikata tidak ada
Persahabatan tanpa cacat
Juga jarang terjadi
Tetapi cinta tanpa kepercayaan adalah suatu bualan terbesar di dunia ini
Demikian kisah Gusti Nurul, Sang Bunga dari Mangkunegaran yang pemikirannya melampaui zamannya dan senantiasa mengajarkan untuk menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kehormatan kaum Hawa.
Sumber: sejarahkita.com