HARAPAN TERHADAP FORUM REKTOR INDONESIA
Rektor adalah pimpinan Universitas dan Institut pendidikan yang tentunya kental dengan nuansa akademik. Sehingga Rektor bisa dikatakan The Academic Leader yang saat ini tugasnya juga melebar ke upaya-upaya pembangkitan dana (income generating activities). Selain itu, kaitan PT dengan pembangunan karakter, pemimpin, dan entrepreneur semakin erat. Artinya peran Rektor semakin penting dan sentral dalam dunia akademik universitas/institut serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak salah bila masyarakat berharap banyak terhadap peran Rektor yang tergabung ke dalam FRI atau Forum Rektor Indonesia. Apalagi di masa kini dimana arus politik kekuasaan yang bercampur baur dengan dunia bisnis semakin kental. Kelemahan etika dan moral para pejabat dan politisi bisa membahayakan kedaulatan bangsa. Ditambah lagi dengan carut marut dunia politik nasional yang semakin menyedihkan, menggelikan, dan mengerikan. FRI harus mampu memberikan pemikiran-pemikiran untuk mencari solusi terhadap persoalan bangsa ini.
Perguruan Tinggi bisa dikatakan sebagai sumber mata air ilmu pengetahuan yang tidak akan ada habisnya. Selain karena selalu ada mahasiswa yang belajar, juga di PT itulah seharusnya inovasi berkembang karena selalu ada ide untuk melakukan riset. Para akademisi dengan kekuatan intelektualnya harus menjadi rujukan dalam pemikiran-pemikiran ke depan yang berkaitan dengan kenegaraan, sosial, ekonomi, dan politik.
Tentunya semua itu harus berbasiskan riset. Tanpa kekuatan riset, para akademisi akan tumpul, walaupun tugas mengajar bisa saja berjalan. Tetapi kalau sekedar memamah biak ilmu dari buku teks lama, tanpa informasi terkini dari jurnal dan riset dosen itu sendiri, maka keadaan ini membahayakan kultur inovasi dan riset mahasiswa, bahkan masyarakat. Dosen jangan hanya mengajar dengan bahan usang lalu mengambil honor dan mengisi daftar hadir. Ini sama sekali tidak baik untuk perkembangan inovasi Indonesia ke depan. Jadi, secara internal, Rektor harus mampu menggairahkan budaya riset dosen dan mahasiswa. Tanpa itu, PT tidak berbeda dengan lembaga kursus.
Secara eksternal Rektor apalagi bergabung dalam FRI harus memberikan alternatif konsep pemikiran untuk menjawab permasalahan bangsa. Bahkan harus mampu memetakan Indonesia jauh ke depan. Saat ini, negara sedang dirundung masalah yang cukup kompleks. Dalam menghadapi MEA yang seharusnya kita menjadi leader, kita hanya dianggap konsumen besar. Apakah PT sudah siap menawarkan kurikulum yang benar-benar akan menjadi pegangan bagi generasi muda? Apakah budaya entrepreneurship di kampus-kampus sudah tumbuh dengan baik, termasuk penyiapan young entrepreneur, misalnya dengan inkubator bisnis, startup company, dan kegiatan lainnya yang mendukung mahasiswa agar mereka kelak menjadi entrepreneur? Saya tidak yakin kampus-kampus sedang menyiapkan itu secara sistematis. Paling-paling mereka sedang sibuk laporan proyek, mengisi daftar hadir, dan menyiapkan borang akreditasi. Kampus-kampus besar sedang sibuk dengan upaya pencapaian WCU (World Class University).
Begitu juga dengan persoalan perencanaan pembangunan, FRI harus mampu memberikan konsepsi blue print untuk lembaga-lembaga negara dan dijalankan oleh pemerintah sebagai eksekutif. Misalnya, bagaimana mengembalikan grand design pembangunan seperti GBHN 25 tahunan yang dipegang dan dijalankan secara periodik 5 tahunan. Sehingga lembaga politik fokus pada pencapaian Indonesia sejahtera, bukan saling menihilkan akibat terlalu berpikir jangka pendek dan kelompokisme. Di sini FRI bisa menjadi rujukan pemikiran.
Masalah dekadensi moral dan karakter bangsa juga sering kita saksikan akhir-akhir ini. Lihat saja kedisiplinan lalu lintas, budaya antri, budaya kerja, gotong royong itu digantikan dengan perilaku saling serobot, tawuran, bullying, malas, dan korup. Ini berarti ada yang salah dalam pendidikan kita sejak dini. Semua persoalan itu menumpuk dan terus berlangsung. FRI tidak bisa mengatakan itu bukan urusan Rektor. Masyarakat tetap berharap terhadap para pemimpin PT ini.
Dalam dunia kerja, secara umum, tenaga kerja kita masih jauh di bawah standard. Karena dihimpit oleh kebutuhan ekonomi, maka tidak mustahil generasi muda terjerembab ke wilayah berbahaya seperti child trafficking, narkoba, pelacuran. Atau menjadi TKW kelas pembantu rumah tangga di negara asing. Dignity kita sebagai bangsa tentu anjlok oleh pemilihan segmen pekerjaan yang saat ini sudah ditinggalkan oleh Filipina sekali pun. FRI harus mampu memberikan solusi agar mutu dan level tenaga kerja kita berada di papan menengah-atas yang lebih terhormat. Bukan di kelas babu.
Artinya, kurikulum pendidikan yang memperkuat karakter bangsa sejak dini menjadi keharusan. Lalu diperkuat oleh hard skill sains-teknologi dan kepemimpinan di tingkat PT. FRI harus memberikan alternatif konsep pendidikan mengait dengan karakter, moralitas, sains-teknologi, entrepreneurship, ekonomi, dan lain-lain secara bertahap. Sesuai dengan perkembangan usia. Jangan semuanya dijejali di tingkat dasar yang menyebabkan anak didik lelah, bosan, dan akhirnya di SMP mulai bringas melalui tawuran. Keadaan ini harus mulai dihentikan bukan sekedar melalui ancaman-ancaman dan hukuman saja, tetapi pandangan holistik persoalan kemanusiaan harus ditelaah supaya keluar dengan solusi jangka panjang. Di sini FRI bisa berperan.
Dalam dunia ekonomi bisnis yang saat ini sudah berbasis pengetahuan (knowledge base), peranan riset untuk membangun ekonomi sangat tinggi. Bukan sekedar ekspansi lahan yg kandungan teknologinya sangat rendah. Turunan-turunan dari bahan baku primer harus diteruskan dalam pohon industri yang lengkap. Bagaimanapun luasnya lahan itu pasti terbatas, tetapi teknologi dan inovasi itu unlimited. Kita harus menjadi penentu harga dunia untuk produk2 (komoditas) yang sumbernya ada di Indonesia, seperti sawit, kopi, coklat, teh, bahan baku mineral, uranium, emas, dan lainnya. Di situ peranan riset tidak bisa dielakkan. PT lah tempatnya, sehingga belajar di universitas/institut itu menjadi bermanfaat, perlu, dan jelas kegunaannya. Bukan sekedar memperpanjang masa pengangguran, atau lulusan bekerja sekedar mencari nafkah primer.
FRI dapat mengusung konsep untuk solusi persoalan krisis kemanusiaan dan lingkungan ini. Banyak lagi hal yang bisa dipikirkan FRI, sehingga keberadaannya sebagai entitas akademik ini dirasakan oleh masyarakat. Dignity Rektor harus kuat dalam academic dan entrepreneurship leader. Bukan sekedar KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Semoga.
***