HUBUNGAN HARMONIS MANUSIA DAN ALAM 

Ancaman terbesar terhadap umat manusia bisa saja pada akhirnya bukanlah perang nuklir, perang dunia atau terorisme, melainkan resiko yang datangnya dari “masa damai,” yaitu perusakan sumber daya alam bumi oleh kebodohan, kerancuan berpikir, dan keserakahan manusia. Kita semua yang hidup di atas bumi bergantung pada lapisan tipis air, tanah, dan udara dalam mana kita hidup. Namun bagaimana cara kita mengelola itu semua, khususnya di abad ini, amatlah memprihatinkan.

Berbagai persoalan alam tersebut sebagian terjadi pada tingkat global dan sebagian lagi pada wilayah lokal. Pada tingkat global, muncul kecemasan akan dampak dari Global Warming yang dihasilkan oleh aktivitas industri di seluruh dunia, telah memaksa atmosfer membuka diri dari radiasi sinar matahari yang akhirnya mengubah sistem kehidupan alam.

Gejala alam ini diyakini telah dan akan terus mencairkan lapisan es di ujung belahan bumi utara, dan secara perlahan tapi pasti akan menaikkan tinggi permukaan air (laut) bumi yang berpotensi menenggelamkan sebagian daratan bumi. Akibat lainnya adalah terjadinya ketidakpastian iklim, yang kemudian memunculkan bencana banjir dan kekeringan di berbagai belahan bumi.

Solusi global untuk mengatasi penyimpangan iklim adalah dengan mengurangi emisi gas dari industri untuk mengurangi ‘efek rumah kaca’. Argumennya adalah, buangan industri berupa gas, utamanya CO2, telah hadir berlebihan dan mengubah komposisi udara sehingga terjadi kenaikan suhu global secara rata-rata persis seakan-akan bumi adalah rumah kaca yang suhunya lebih dari sekitarnya.Kenaikan suhu inilah yang mejadikan gejala El Nino dan La Nina menjadi dominan, dan yang mengacaukan iklim terutama di kawasan Pasifik.

Para ahli kemudian berkesimpulan, jika emisi industri dikurangi, maka stabilitas iklim dapat lebih terjamin. Sebagaimana kesepakatan dari KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, PBB mengesahkan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim yang kemudian melahirkan Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto merumuskan berbagai program internasioal untuk mengurangi kandungan gas rumah kaca, antara lain komitmen industri untuk mengurangi emisi gas, penggunaan energi alternatif, reboisasi dan perlindungan hutan, dll. Protokol Kyoto melahirkan berbagai insiatif juga, baik dari para ilmuwan, aktivis LSM, dunia swasta maupun berbagai kalangan pemerintahan, yang pada intinya mengarah kepada upaya konservasi dan diversifikasi energi dan reforestasi.

Pada jangka panjangnya, demikian menurut para ahli, pelaksanaan Protokol Kyoto akan mengembalikan stabilitas iklim melalui pengurangan volume gas-gas buangan. Akhirnya bencana alam seperti banjir dan kekeringan akan kembali pada siklus awalnya, dan diperkirakan kewajaran iklim tersebut akan kembali dinikmati umat manusia pada akhir abad ini.

Skenario yang disusun dalam Protokol Kyoto serta program pelaksanaannya belum tentu bisa berjalan karena negara pengguna energi terbesar yaitu Amerika Serikat, sampai hari ini belum menyetujui Protokol Kyoto. Problem lain adalah, bahwa Protokol Kyoto dalam tahapnya sekarang belum mewajibkan negara berkembang melakukan program reduksi emisi gas buangan. Padahal, negara-negara berkembang seperti Cina dan India dengan populasi yang begitu besar saat ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, yang tentunya menyebabkan kedua negara tadi mengalami peningkatan konsumsi energi yang juga berlipat ganda.

Gejala hancurnya sistem lingkungan bumi sebagai akibat dari berlubangnya lapisan atmosfer yang selama ini berfungsi sebagai lapisan pelindung yang memayungi bumi dari sinar matahari langsung itu menjadi kekhawatiran semua umat manusia di berbagai negara, termasuk kita di Indonesia.

Data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa lebih 13 juta kematian di seluruh dunia dapat dicegah setiap tahunnya dengan menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Di beberapa negara, lebih dari sepertiga beban penyakit dapat dicegah melalui peningkatan kualitas lingkungan.

Sangatlah penting untuk mengkuantitatif beban penyakit dari lingkungan yang tidak sehat. Ini merupakan kunci untuk membantu pemerintah dalam menentukan intervensi yang dibutuhkan. Kegiatan-kegiatan pencegahan sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya penyakit akibat kualitas lingkungan yang tidak sehat, terutama di negara-negara miskin.

Di 23 negara di seluruh dunia, 10 persen lebih kematian disebabkan dua alasan utama: air yang tidak bersih, termasuk sanitasi dan kebersihan yang buruk, dan polusi udara di dalam ruangan yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar padat untuk memasak. Di seluruh dunia, anak-anak di bawah usia lima tahun menjadi korban utama dan merupakan 74 persen dari kematian yang disebabkan oleh penyakit diare dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah.

Indonesia agak lambat menanggapi kelangkaan air karena kita berasal dari suatu budaya dan lingkungan alam dimana air tidak pernah menjadi soal. Situasi nyaman itu sudah lewat dan kita sekarang sedang berada sejajar dengan negara-negara berkembang lainnya menghadapi krisis air. Banyak sukses telah diraih, kita bisa belajar dari mereka.

Menyediakan air dari perusahaan air minum bagi seluruh penduduk merupakan target yang susah dicapai karena biaya investasi untuk jaringan distribusinya amatlah mahal. Sekarang pun perusahaan-perusahaan air minum sudah minta kenaikan tarif, sedangkan kenaikan tarif tidak mungkin diberlakukan karena melampaui daya beli masyarakat banyak.

Terbatasnya daya jangkau air ledeng lantas membuat warga, pabrik, hotel, apartemen mencari sumber air sendiri-sendiri, dan itulah kemudian menciptakan persaingan yang timpang dan pencemaran di mana-mana.

Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan, tapi semuanya memerlukan kepedulian yang tinggi. Pabrik, hotel dan apartemen perlu ditertibkan penggunaan airnya. Pemborosan air perlu dikenai biaya tinggi, dan sebaliknya penghematan air perlu diberikan insentif.

Ketentuan tentang pembangunan instalasi pengolahan air limbah perlu diberlakukan. Warga di pemukiman padat perlu didorong untuk mendirikan paguyuban air bersih sehingga persediaan air bersih bisa dilakukan bersama-sama. Desain dari septik tank perlu diperbaiki serta pembangunan septik tank secara kolektif perlu dipacu.

Ruang-ruang terbuka perlu diciptakan lebih banyak untuk difungsikan sebagai kolam pengolahan limbah cair, dan jika penataannya bagus maka kolam-kolam tersebut malah bisa menjadi sebagai tempat rekreasi dan menciptakan pemandangan yang bagus.

Seluruh rencana tata-ruang, baik tingkat nasional, provinsi, kabupaten, maupun kota, harus dibuat untuk proyeksi 20 tahun. Salah satu ketentuan penting yang diatur undang-undang Penataan Ruang yang baru disahkan itu adalah mengenai keberadaan ruang terbuka hijau (RTH). Proporsi RTH pada wilayah kota ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. RTH itu terbagi atas ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan RTH yang dimiliki dan dikelola pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan konsep tataruang, baik yang dilengkapi izin maupun tidak berizin, harus dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan sanksi pidana denda dengan tegas. Semua itu demi mewujudkan kualitas lingkunganhidup bagi masyarakat.

editor: indragara

you may also like