SARWONO KUSUMAATMADJA
hidup itu tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan dan inginkan, seringkali kita dihadapkan pada hal-hal tidak terduga. Dan, kita harus siap untuk melakukan yang terbaik untuk itu
Ir. Sarwono Kusumaatmadja adalah salah satu tokoh nasional yang memiliki catatan perjalanan karir politik cemerlang sedari muda; aktivis kampus (Ketua DM ITB), penah menjabat sekretaris jenderal Golongan Karya (GOLKAR), tiga kali menjabat Menteri (Menteri Aparatur Negara, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kelautan), empat periode sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), dan terakhir sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili DKI Jakarta. Aktif pula di sejumlah organisasi sosial kemasyarakatan. Di Yayasan Bhakti Bangsa, selain salah seorang pendiri, juga pernah menjabat Ketua Badan Pengurus di masa bhakti 2015 – 2018
Dibesarkan dalam lingkungan pergerakan menjadikan Sarwono Kusumaatmadja kaya pengalaman dan wawasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut nukilan pembicaraan sekitar perjalanan karir politiknya.
Perjalanan hidup itu seringkali seperti kecelakaan (kejadian tidak terduga—red), hal yang tidak kita ingin perbuat kemudian terjadi begitu saja. Misal, ketika saya terpilih menjadi ketua Dewan Mahasiswa (DM) ITB. Demikian pula saat awal mendapat kepercayaan untuk menjalankan amanah sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Hidup itu penuh dengan kejadian tidak terduga, bisa dijelaskan maksudnya?
yaaa itu tadi bahwa kadang kita tidak tahu apa yang akan terjadi dan semua berjalan, kadang tidak kita perkirakan. misalnya ya, ketika saya terpilih menjadi Ketua DM ITB (1967), tidak terbesit niatan untuk berkompetisi meraih jabatan tersebut. Pada waktu itu sudah ada 2 (dua) calon utama. Ketentuan tatib pemilihan ketua dewan mengharuskan ada 3 (tiga) calon. Kedua calon utamanya sepakat yang jadi calon ketiganya hanya untuk memenuhi tatib itu saya karena dianggap saya tidak jadi acaman bagi kedua orang itu. Tapi persaingan kedua orang itu terlalu sengit, jadi MPM tidak suka akhirnya ramai-ramai menge-‘vote’ ke saya. Saya sendiri kaget lho kho malah saya yang jadi gimana sih, bingung saya. Nah temen-temen dari HMI itu tidak cukup memiliki suara untuk memenangkan mereka punya kandidat, mereka berpikirnya si Sarwono saja dipilih oleh kita karena dia akan lemah dewannya sudah gitu temen- temen lain independen yang tadinya mendukung kedua calon utama menjadi berbalik mengalihkan suaranya untuk saya. Mereka melihat kedua orang itu terlalu agresif rivalitasnya. Jadi saya dapat suara dari HMI, dan dapat ‘vote’ golongan independent yang tidak suka sama calon utama itu…dapat, bingung saya. Saya memang tidak diperhitungkan, saya itu dianggap orang yang ‘plannner’, berwawasan, nulisnya bagus, mengerti strategi dan kerjanya dibelakang meja. Jadi, saat itu dianggap, istilah sekarang, sebagai calon ‘kayu bakar’ (peramai—red). eeehhh.. ternyata jadi dan sukses memimpin dewannya.
Apakah itu terjadi juga ketika menuju DPR?
pergerakan mahasiswa sedang hangat-hangatnya pada waktu itu, menjelang tahun 1971 GOLKAR Jawa Barat kekurangan calon karena orang-orang politik masih berminat menjadi calon dari partai masing-masing. Jadi panglima sebagai pimpinan GOLKAR inisatif mengumpulkan aktivis mahasiswa untuk jadi calon GOLKAR karena dia juga simpati sama mahasiswa. Cuman karena pak Witono saat itu berpikirnya sederhana dan cerdas, daripada tuh mahasiswa merewelkannya mendingan para mahasiswa dirangkul dan mereka suruh masuk DPR. Diancam, kalau tidak menuruti akan ditangkap tapi kalau kalian mau bangun ini negeri kerja di dalam jangan di luar, kalau di luar kamu berhadapan dengan Siliwangi, di dalam jadi temen…silahkan pilih sendiri. saya kasih kesempatan 1 (satu) minggu, panglima bilang waktu itu. Nah terus kita pikir menurut cerdik pandai pada waktu itu, paling-paling GOLKAR dapat 35% jadi kita ‘enjeniir’ supaya kita tuh di bawah di daftar calon, supaya tidak jadi maksud kita begitu…eeehh ternyata jadi karena GOLKAR menang 62%, jadilah saya anggota DPR. Itu sebab kenapa saya bilang menjadi anggota DPR bagian dari ‘by accident’.
Kapan sebenarnya mulai tertarik dengan dunia politik?
dari kecil. Waktu kecil, di gang setiong banyak paman-paman saya kalau ke Jakarta menginapnya di rumah. Paman-paman saya itu orang partai semua, ada orang PNI, Masyumi, ada Murba dan PSI, kalau pada kumpul kerjanya ngobrol politik. Nah bapak saya karena bukan orang politik ideal jadi moderator. Pak Mochtar kalau tuh orang-orang politik datang, dia hanya salaman menyapa terus masuk kamar belajar, waktu itu masih mahasiswa dia. Saya umur 7 (tujuh) tahun sudah senang mendengarkan diskusi politik, jadi sudah ada suasana itu, ketertarikan pada dunia politik, suasana orang pergerakan lah. Makanya saya bilang orang pergerakan itu rumahnya gak pernah di kunci, orang keluar masuk, kayak Mas Isman (perdiri KOSGORO—red) dulu lah di Cik Ditiro. Ngobrol kerjanya, tengkar, debat sambil ngopi. Politiknya tidak cocok, cuma tetep akrab berteman. Membicarakan negara islam, diskusikan tentang Pancasila, negara liberal…waktu saya ikut pertemuan KOSGORO (1978), di Semarang saya langsung terpikat karena ingat suasana di rumah. Mas Isman kan orangnya begitu, semua orang dengan mengabaikan latar belakangnya, jangankan perbedaan agama, suku, ideologi bahkan sampai-sampai perbedaan sikap politik pun, seperti, bekas DI, bekas Komunis ada, kumpul di situ.. Wawasan kebangsaan yang melandasi kehidupan berorganisasi KOSGORO tersebut menarik buat saya. Ini dunia saya pikir saya, jadi saya langsung masuk KOSGORO. Saat bergabung di KOSGORO saya dipercaya untuk mengembangkan Grup Diskusi Nasional. Jadi perkenalan dengan dunia politik, pergerakan, memang sudah dari kecil.
Ketika menjabat sebagai Sekjend GOLKAR dikenal menggagas konsep stetsel aktif, bagaimana ceritanya ?
menjadi Sekjend GOLKAR itu juga tidak termasuk dalam perencanaan saya. Malah saya termasuk ‘kuda hitam’ dalam soal itu, tidak termasuk orang yang diperhitungkan dan diperkirakan. Ketika berkecimpung di dunia nyata politik, DPR, ada perasaan ketidaknyamanan, tidak suka dunia politik abu-abu dan serba tidak jelas. Ada keinginan untuk mundur, tapi ada orang tua yang memberitahu, kalau tidak betah di sini jangan minta keluar karena di mata orang jawa minta keluar itu berarti menampik kehormatan karena dalam kulktur jawa itu menjadi anggota DPR, Pejabat Negara itu kehormatan. Kalian dikasih kehormatan kho ‘nyungkun’, itu tidak baik. Jalan keluarnya, bikin saja konsep yang menyangkut masa depan, kalau itu dilakukan maka ada kemungkinan, konsep itu di tolak dan kalian dikeluarkan, atau diterima. Nah sejak itu kita dikenal sebagai kelompok Bandung yang progresif. Ketika DPP melaporkan ke pak Harto (presiden Soeharto—red), beliau justru memberi saran agar anak-anak muda tersebut dimanfaatkan. Akhirnya para kepala ‘geng’ Bandung ini ditunjuk jadi sekretaris fraksi. Kemudian ketika terjadi peristiwa 1982 (lapangan banteng), saya dengan kawan-kawan KOSGORO, SOKSI dan lain-lain ‘standby’ dan mengaktifkan Kantor Pusat GOLKAR yang kosong dan pak Harto melihat hal itu. Menurut informasi pak Benny (Jenderal Benny Murdani—red), sejak peristiwa itu diperintahkan pak Harto untuk menyampaikan dokumen tentang saya dan 2 (dua) orang kawan lain yang memang sejak tahun 1979 dipersiapkan mengumpulkan informasi mendalam tentang kami. Saya kira ’perintah’ itu ada hubungannya dengan pemilihan saya kemudian sebagai Sekjen GOLKAR oleh beliau sebab biasanya untuk menjadi menjadi Sekjend GOLKAR kan ada kriterianya, biasanya berpangkat Mayjen, usia 58 tahun, sedang saya kan usia 40 tahun dari sipil lagi. Sempat saya kaget ketika benar-benar terpilih menjadi sekjend. Kenapa saya yang dipilih ? informasi yang saya dengar, penilaian pak Harto saya ini di nilai mengerti strategi, cara berpikir seperti tentara dan bagus dalam manajemen krisis. Mengenai konsep stetsel aktif, itu sebenarnya ide dasarnya murni dari pak Harto. Ceritanya, pak Harto bilang pada waktu itu, nanti kalau saya tidak jadi presiden, GOLKAR harus bisa berkompetisi dengan partai lain yang sekarang kita pun tidak tahu partai-partai baru itu namanya apa. GOLKAR tidak bisa lagi bersandar pada birokrasi dan tentara, jadi mesti bikin kaderisasi. Akhirnya pak Sudharmono, pak Manihuruk dan saya ngobrol menterjemahkan ide pak Harto tersebut maka beralihlah keanggotaan GOLKAR dari keanggotaan organisasi menjadi stelsel aktif, yakni keanggotaan berdasarkan perorangan. Dan itu dibuktikan efektivitasnya ketika tahun 1999 ketika GOLKAR tidak bisa kampanye bisa nomor 2 (dua), tahun 2004 nomor 1 (satu), sekarang masih ada, karena memang sudah dikondisikan untuk siap bersaing, lewat persaingan internal.
Apa yang melatarbelakangi terpilihnya Bapak jadi Menteri Aparatur Negara, yang terkenal melalui WASKAT-nya.
karena dipersepsikan sukses menjadi sekjen dengan sendirinya menjadi calon Menteri kan. Diangkatlah saya jadi Menpan, tahun 1988. Ada peristiwa menarik sebelum saya diangkat jadi Menpan, suatu malam ada orang tua minta bertamu ke rumah. Ngobrol-ngobrol, akhirnya si orang tua ini bilang, rupanya mas Sarwono ini punya bakat ini ya kegemaran mengurus organisasi, kalau gitu cocoknya jadi Menpan. Rupanya si orang tua itu ditugasnya untuk menilai posisi yang tepat untuk saya di kabinet nantinya. Soal waskat, banyak beranggapan itu dianggap konsep saya, sebenarnya itu murni konsep dari pak Harto. Kalau semboyan ‘kaya struktur, miskin fungsi’ nah kalau itu dari saya. Kenapa ide-ide pak Harto diangap ide saya karena artikulasi saya bagus menjelaskan hal tersebut dan ketika saya bilang ini dari pak Harto, orang menganggap ya tentu saja dia mesti ngomong begitu dia kan menteri pak Harto. Sekali lagi itu murni konsepnya pak Harto. Nah waktu jadi Menteri Lingkungan Hidup, disamping diajukan oleh pak Murdiono, antara lain, atas usul pak Emil Salim. Pa Emil sampaikan ke pak Harto kalau saya sudah 15 (limabelas) tahun jadi Menteri LH sudah cukup tapi kalau pengganti saya diperlukan orang yang ngerti manajemen dan oragnisasi, kalau tidak Siswono ya Sarwono. Mulanya memang banyak LSM yang meragukan namun saya sejak lama sudah berlangganan Nasional Geografi jadi mengerti benar masalah lingkungan hidup. Saya pun tetap menggunakan orang-orangnya pak Emil kho. Ketika saya memegang KLH, kita berhasil membuat UU no. 23 tahun 1997, dianggap UU terbaik yang dipunyai negara berkembang yaa undang-undang itu. Nah ketika presiden Gus Dur itu, ceritanya waktu jaman saya jadi sekjen ngobrol dengan Gus Dur, tahun 1986, tentang Deklarasi Juanda. Gus Dur itu sangat hafal sejarah maritim Indonesia. Beliau bilang sama saya nanti kalau saya jadi presiden sampean jadi menteri kelautannya yaa. Kebetulan soal kelautan (hukum kelautan—red) saya banyak tahu dari Pak Mochtar, kalau masalah lautnya saya dapat ilmunya waktu jadi Menteri LH. Jadi ketika dipercaya jadi Menteri Kelautan, tidak ada masalah.
Bagaimana pendapat Bapak terkait kondisi politik sekarang dengan multipartai-nya
jangan lupa diinternal mereka ada persaingan juga. Jadi dengan jangka waktu tertentu ya yang bener-bener tidak ‘becus’ dan bener-bener korup ya akan tersisih juga. Yang saya lihat kualitas di mulai dari pemilihan kepala daerah. Partai-partai tidak ada pilihan lain nantinya harus menampilkan orang-orang yang bagus. Yang masih jadi persoalan justru tentang partai itu sendiri. Partai sebetulnya ideologi yang jadi taruhan. Demokrat dan republik apa sih bedanya di Amerika? Demokrat lebih kiri, republik kanan. Di Indonesia itu belum jelas ideologinya apa, masih pragmatis semua. Tapi lama-lama akan terbentuk. Tapi ideologi itu kan harus konstekstual dengan jamannya, nah rumusan ini masih di cari. Ke depan, saya kira untuk pemilihan bukan legislatif akan mengarah pada pengecilan jumlah partai nantinya. Partai sebagai artikulasi dan agregrasi politik boleh tetap banyak namun untuk pada tingkat nasional akan terjadi proses alamiah. Kalaupun di tanya tadi saol apakah kondisi politik saat ini sudah cocok atau belum yaa setiap sistem ada kelemahan dan kelebihannya tapi kondisi ini akan tetap menemukan bentuknya sesuai dengan kebutuhan jaman. Teori itu kan kontekstual nanti berdasarkan praktek akan melahirkan teori, itu kan. Yang penting multi partai tetap mesti ada persaingan karena persaingan itu yang akan membawa kebaikan. Seharusnya juga orang sudah kaya dulu baru terjun ke dunia politik. Yang susah tidak sedikit banyak calon yang memajukan diri karena mencari lapangan kerja. Nah karena ada persaingan dan rakyat pun menilainya maka saya berkeyakinan nanti partai akan mengajukan orang-orang yang bagus. Kalaupun sekarang seperti terjadi anomali, itu merupakan bagian dari proses yang memang secara alamiah harus terjadi. Dalam grafik kita kenal adanya fluktuatif kondisi sebelum mencapai titik tujuan yang diharapkan.
***
Catatan: pada tanggal 24 Juni 2018, bertepatan dengan peringatan usia beliau ke 75, telah diterbitkan memoir-nya yang bertajuk: “MENAPAK KORIDOR TENGAH’. lebih lengkapnya silahkan baca buku tersebut yang saat ini sudah diperjualkan bebas di Gramedia dan toko buku lainnya.
editor: Indragara.