MENDORONG PERAN MEDIA PENYIARAN UNTUK OPTIMALISASI BONUS DEMOGRAFI
Oleh: Azimah Subagijo, S.Sos, M.Si*
ABSTRACT
Currently, Indonesia is entering the phase of the demographic bonus, namely the number of productive age population is larger than the population of unproductive. Plus the rapid growth of the middle class with money to spend who are unemployed, making Indonesia as a country with a very attractive economic growth. However, this advantage should still be managed properly. If mismanaged, it is not the people of Indonesia who will enjoy a demographic dividend Indonesia, but global business players who are looking for markets for goods and services they produce. An important one for the driven role in optimizing this demographic bonus for the prosperity of the nation Indonesia is a broadcast medium. Given the media has the highest penetration in Indonesia and is very strategic for Indonesia as an archipelago state, multiethnic, and multilingual and culture. The presence of the broadcast media, especially supported and regulatory history, it has a prophetic function such as: information, education, healthy entertainment, adhesives and social control, culture, and economy. Besides broadcasting is also directed to establish the character and identity of the nation is noble. Unfortunately, until now mainly private television broadcasters, many have not run the above functions adequately. Evident from the results of the study KPI period September 2013-December 2014 against cinematograph films are present on television, it is still dominated by foreign films are loaded with negative charge. It is prone to be a tool for cultural imperialism. Learning from other countries that have successfully optimize the broadcast media in order to serve the public as well as minorities, this paper want to arouse that the same thing should also have started to do by Indonesia.
ABSTRAK
Saat ini Indonesia memasuki fase bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktifnya lebih besar daripada jumlah penduduk tidak produktif. Ditambah lagi pesatnya pertumbuhan kelas menengah yang memiliki uang yang mengganggur untuk dibelanjakan, membuat Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat menarik. Namun demikian, keunggulan ini tetap harus dikelola dengan baik. Jika salah kelola, maka bukan masyarakat Indonesia yang akan menikmati bonus demografi Indonesia, tetapi pemain-pemain bisnis global yang memang sedang mencari pasar bagi barang-barang dan jasa yang mereka produksi. Salah satu yang penting untuk didorong perannya dalam mengoptimalkan bonus demografi ini bagi kemakmuran bangsa Indonesia adalah media penyiaran. Mengingat media memiliki penetrasi tertinggi di Indonesia dan sangat strategis untuk kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, yang multietnis, dan multibahasa serta budaya. Kehadiran media penyiaran, apalagi didukung sejarah dan regulasi, memang mempunyai fungsi profetik seperti: informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, perekat dan kontrol sosial, kebudayaan, dan ekonomi. Selain itu penyiaran juga diarahkan untuk membentuk watak dan jati diri bangsa yang berakhlak mulia. Sayangnya, hingga saat ini penyiaran terutama televisi swasta banyak yang belum menjalankan fungsi di atas secara memadai. Terbukti dari hasil kajian KPI Pusat periode September 2013-Desember 2014 terhadap film-film bioskop yang hadir di televisi, ternyata masih didominasi film-film asing yang sarat dengan muatan negatif. Hal tersebut rentan menjadi alat untuk imperialisme budaya. Belajar dari negara-negara lain yang telah sukses mengoptimalkan media penyiarannya demi melayani masyarakat umum maupun kelompok minoritas, tulisan ini hendak menggugah agar hal yang sama hendaknya juga sudah mulai dilakukan oleh Indonesia.
Pendahuluan
Dalam waktu yang tidak lama lagi, Indonesia akan menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Pada tahun 2030 Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi ke-7 terbesar di dunia. Perkembangan ekonomi yang pesat ini terutama didorong oleh momentum pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang cepat sejak 3 tahun terakhir. Dengan total jumlah penduduk lebih dari 240 juta orang (data populasi Indonesia hingga Juli 2012 berjumlah 248,645,008), ternyata hampir 60% diantaranya adalah usia produktif (15-64 tahun) dan merupakan kelas menengah. Hal ini menempatkan Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar di dunia [1](Sindo,12/5/2013).
Sayangnya, yang piawai memanfaatkan potensi pasar besar tersebut justru bukanlah anak negeri, melainkan pemain-pemain global asing. Para pemain global ini mengerahkan segala kemampuan sumber daya mereka yang nyaris tak terbatas untuk menguasai pasar Indonesia. Hal ini tentu bukanlah suatu kabar yang menggembirakan. Potensi kelas menengah Indonesia yang besar sangat menyedihkan jika hanya berujung sekadar menjadi bangsa konsumen alias tidak mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Kondisi ini sudah dapat kita lihat fenomenanya. Bila kita tengok isi kamar mandi atau dapur sebagian besar masyarakat kita, maka akan ditemui sejumlah besar merek-merek asing. Mulai dari sabun mandi, pasta gigi, sampo, kosmetik, pembersih lantai, sabun cuci, susu, kecap, margarine, sambal hingga penyedap rasa, semua dikuasai merek asing. Deretan ini bisa kita perpanjang lagi jika juga menyebut mobil atau motor yang dimiliki, gadget, penyedia jaringan telekomunikasi, hingga bank yang rata-rata didominasi oleh pemain-pemain global asing. Bahkan 80% bisnis periklanan yang memasarkan produk-produk konsumsi kebutuhan masyarakat inipun dikuasai oleh asing.[2]
USIA | PRESENTASI | LAKI-LAKI | PEREMPUAN |
0 – 14 | 27 | 34,224,282 | 33,022,222 |
15 – 24 | 17,1 | 21,696,545 | 20,939,720 |
25 – 54 | 42,2 | 53,007,277 | 51,909,233 |
55 – 64 | 7,2 | 8,490,220 | 9,536,097 |
> 64 | 6,4 | 6,926,153 | 8,893,259 |
Tabel 1. Data BPS 2012
Untunglah penyiaran sebagai salah satu sumber daya yang strategis di negeri ini, masih dimiliki oleh anak negeri. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Penyiaran No.32/2002 mengatur bahwa lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia (Pasal 30 (1) UU 32/2002).[3]Sudah saatnya kini media penyiaran dapat dioptimalkan keberadaannya untuk menyiapkan bangsa Indonesia agar lebih mandiri, produktif, dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia sehingga tercapai kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Media penyiaran sudah bersama bangsa ini selama 83 tahun. Sesungguhnya usia yang sudah dilalui adalah sebuah usia yang sangat matang bila dikaitkan dengan rata-rata hidup manusia. Tak mengherankan bila pada momen-momen bersejarah bangsa inipun, terselip peran serta media penyiaran dalam perjuangan bangsa. Soloche Radio Vereniging(SRV) pada tahun 1933 melakukan diplomasi budaya hingga ke negeri Belanda dengan mengiringi Gusti Nurul menari Srimpi di Denhag melalui siaran radio yang saat itu menggunakan gelombang SW (Short Ware). Gesang (musisi) pun mengakui bahwa dirinya sangat berhutang budi pada SRV. Hal ini karena SRV telah mengenalkan karya-karyanya hingga mancanegara sehingga membuatnya menjadi legenda keroncong Indonesia.[4]
Tidak hanya perjuangan budaya. Peran dan kontribusi media penyiaran sangat besar pada perjuangan pada saat merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dikumandangkan hingga ke mancanegara oleh RRI. Perjuangan arek-arek Surabaya 10 November 1945 yang berslogan “Merdeka atau Mati” juga digaungkan melalui Radio. Pesta olahraga Ganefo pada 1962 disiarkan melalui TVRI hingga seluruh masyarakat dapat menjadi saksi pagelaran olah raga terbesar sebenua Asia tersebut.[5]Kemudian momen reformasi pada saat detik-detik lengsernya Jend. Purn. Soeharto sebagai Presiden RI, diketahui oleh masyarakat secara real timemelalui media penyiaran terutama televisi.[6]Untuk itu, di masa kinipun, media penyiaran diharapkan peran dan kontribusinya untuk kemajuan negara, baik dalam arti fisik maupun psikis.
Sejak tahun 2002, kehadiran penyiaran diatur oleh UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jika diperas isinya, semangat yang terkandung dalam undang-undang ini adalah demokratisasi penyiaran yang tercermin dari adanya ketentuan mengenai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), dan desentralisasi penyiaran berupa pengakuan adanya sistem siaran jaringan (SSJ). KPI muncul sebagai wujud peran serta masyarakat dalam penyiaran. Mengingat penyiaran adalah sebuah media yang menggunakan ranah publik berupa frekuensi, maka peran serta masyarakat dalam penyiaran memang sudah semestinya hadir dan terwakili. [7]
Selain itu, secara nasional kenegaraan Indonesia, undang-undang juga mengamanahkan agar penyiaran memiliki peran prophetik. Fungsinya sebagai kegiatan komunikasi massa, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta fungsi ekonomi dan kebudayaan.[8]Penyiaran Indonesia secara garis besar juga diarahkan untuk: menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; meningkatkan kualitas sumber daya manusia; menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa; meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional; menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup; mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran; mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi; memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab; dan memajukan kebudayaan nasional.[9]
Tuntutan fungsi dan arah yang sedemikian baiknya tentu mengandung berbagai tantangan bagi pemangku kepentingan bidang penyiaran. Tantangan ini ada di setiap bagian maupun secara keseluruhan. Salah satunya adalah tantangan bagaimana menciptakan, menyajikan, dan menikmati media. Lembaga penyiaran tentu tidak berniat mengembangkan dirinya untuk melenceng jauh dari fungsi serta arah penyiaran.
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa dalam praktek bermedia terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan, baik secara teknis maupun kesumberdayaan. Keterbatasan ini mempengaruhi kualitas idealisme penyiaran sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Keterbatasan inilah yang wajib dijelaskan oleh pengelola media penyiaran kepada khalayak, dengan kemungkinan-kemungkinan upaya minimalisirnya. Perlu dingat bahwa di luar perannya sebagai pengelola media penyiaran, secara individu yang bergerak di dunia penyiaran, kita semua tetap adalah warga negara Indonesia. Kita memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional yang membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Dominasi Program Asing di Televisi
Salah satu yang paling tampak dari penyelenggara penyiaran di tanah air adalah lemahnya kreatifitas dan keinginan pengelola media penyiaran dalam membuat program yang bermutu. Mengingat memproduksi program siaran terutama untuk televisi sehingga dapat diterima pemirsa (baca:rattingnya tinggi), bukanlah hal yang mudah dan murah. Untuk itu, banyak dari para pengelola media penyiaran ini memakai jalan pintas, yaitu membeli program siaran berupa film, sinetron, kuis/adu bakat, dokumenter, dari negara lain yang telah terbukti sukses di negara tersebut.
Walhasil, jika kita menengok isi televisi swasta kita, program asing dari mancanegara mulai terasa mendominasi. Apalagi jika kita bicara program film lepas dengan tagline bioskopataubig moviesatau theater maupunsinemakerap berisi film-film produksi Hollywood, Boliwood, atau Mandarin. Begitu juga dengan program sinetron yang kini mulai banyak dibanjiri produksi asing seperti dariTurki, India, Korea, Mandarin dan atau program anak-anak berupa film kartun asal Jepang atau Disney (USA), bahkan kini produksi negeri jiran kita Malaysia juga digandrungi masyarakat.
Walaupun memang, regulasi masih membolehkan program asing hingga 40% dari total durasi siaran per hari. Namun jika kita menganggap penyiaran punya fungsi strategis bagi bangsa ini, pengaturan tentunya tidak sampai di sana. Jam tayang juga penting, termasuk isi siarannyapun hendaknya yang aman, meningkatkan akhlak muliadan menunjang pembangunan jati diri bangsa kita dan bukan yang sebaliknya.
Hasil kajian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat pada September 2013 hingga Desember 2014 terhadap film-film bioskop yang hadir di televisi menunjukan bahwa budaya seks bebas, pornografi, minum-minuman keras, bicara kasar,konsumsi napza, muatan mistik,sampai kontak fisik yang sadis, masih kerap hadir di layar kaca kita(lihat tabel 2-5).[10]Yang paling mendasar adalah, film-film bioskop yang tayang di televisi itu rata-rata adalah film asing, dengan konteks sosiologis dan akar budaya yang berbeda dengan kita. Jika program semacam ini terus menerus ditampilkan apalagi di waktu-waktu utama (prime time), tentu sedikit banyak akan mempengaruhi kebiasaan masyarakat kita terutama selera menontonnya.
Ketika pada waktunya nanti penyiaran dimungkinkan untuk dimasuki oleh kepemilikan asing, maka tak pelak industri penyiaran dalam negeri terancam gulung tikar. Hal ini karena masyarakat sudah terbiasa dengan konten-konten penyiaran asing, sehingga mudah saja bagi para penonton ini kemudian beralih ke media asing. Tentu hal ini tidak kita harapkan.
Tabel 2. Film-Film Lepas yang Muatan Mistik di
Trans TV, Global TV, RCTI, Trans 7, TPI dan SCTV
Film | Waktu
Tayang |
Stasiun TV | Jumlah Pelanggaran |
Conan the destroyer | Jun’14 | TRANS TV | 2 adegan |
Queen of Damned | Feb’14 | Global TV | 3 adegan |
The Mummy | Apr’14 | Global TV | 7 adegan |
The Mummy Return | Apr’14 | Global TV | 9 adegan |
Resident Evil | Sep’14 | Global TV | 11 adegan |
The Mummy | Jul’14 | RCTI | 11 adegan |
House of Dead | Mar’14 | Trans 7 | 11 adegan |
Wtchslayer Grtel | Mei’14 | Trans 7 | 1 adegan |
Covenant | Sep’14 | Trans 7 | 5 adegan |
Kawin Kontrak Lagi | Mei’14 | TPI | 3 adegan |
Kawin kontrak 3 | Mei’14 | TPI | 2 adegan |
Air Terjun Pengantin | Jan’14 | SCTV | 5 adegan |
Tabel 3.
Film-Film Bermuatan Pornografi di Stasiun Trans TV
No | Film | Waktu Tayang | Jumlah Pelanggaran | No | Film | Waktu Tayang | Jumlah Pelanggaran |
1 | Mission Imposible 2 | Okt 13 | 9 adegan | 19 | Double Team | Jun’14 | 3 adegan |
2 | Death Warrant | Nop 13 | 3 adegan | 20 | Big Hit | Jun’14 | 8 adegan |
3 | The Last Action Hero | Nop 13 | 5 adegan | 21 | Walking Tall | Jun’14 | 2 adegan |
4 | Charlie’s Angel | Des 13 | 19 adegan | 22 | XXX Next Level | Jun’14 | 3 adegan |
5 | Charlie’s Angel; Full Throttle | Des 13 | 27 adegan | 23 | Desperado | Jul’14 | 7 adegan |
6 | XXX | Des 13 | 6 adegan | 24 | Assasination Game | Jul’14 | 4 adegan |
7 | Inglorious Basterd | Jan 14 | 3 adegan | 25 | The Salt | Jul’14 | 1 adegan |
8 | The Legend of Zoro | Jan 14 | 10 adegan | 26 | The Hard Cops | Jul’14 | 1 adegan |
9 | The Patriot | Jan 14 | 8 adegan | 27 | Casino Royale | Agst’14 | 37 adegan |
10 | Charlie’s Angels Full Throttle | Mar’14 | 32 adegan | 28 | Quantum Solace | Agst’14 | 4 adegan |
11 | Charlie’s Angels | Mar’14 | 17 adegan | 29 | Charlie’s Angel | Sep’14 | 60 adegan |
12 | Terminator | Maret’14 | 1 adegan | 30 | Charlie’s Angel Full Throtlle | Sep’14 | 58 adegan |
13 | Terminator Salvation | Mar14 | 2 adegan | 31 | Rundown | Sep’14 | 2 adegan |
14 | Hell Boy | 27 Mar | 3 adegan | 32 | XXX | Sep’14 | 8 adegan |
15 | Charlie’s Angel Full Throtlle | Apr’14 | 82 adegan | 33 | Kungfu Hustle | Sep’14 | 1 adegan |
16 | Rundown | Apr’14 | 3 adegan | 34 | Charlie’s Angel | Okt’14 | 22 adegan |
17 | Charlie’s Angel | Mei’14 | 65 adegan | 35 | Charlie’sAngel Full Throttle | Okt’14 | 26 adegan |
18 | Conan The Destroyer | Jun’14 | 3 adegan | 36 | Kungfu Hustle | Okt’14 | 1 adegan |
37 | Roommate | Okt’14 | 24 adegan |
Sumber: Ketika Film Layar Lebar Hadir di Televisi, Jakarta, 2015, hal. 129-130
Tabel 4.
Jumlah pelanggaran pada film-film lepas di Global TV
Film | Jumlah Pelanggaran | Film | Jumlah Pelanggaran |
The fast and the furius | 133 adegan | The Mummy Return | 52 adegan |
2 fast 2 furius | 213 adegan | The Mummy; Tomb of Dragon Emperor | 58 adegan |
Blue Crush | 549 adegan | Taxi 3 | 57 adegan |
Scott Pilgrim Vs The World | 12 adegan | Police Story 3 | 316 adegan |
Poseidon | 10 adegan | Direct Action | 57 adegan |
Collateral Damage | 17 adegan | The Corruptor | 116 adegan |
Pirates of Carribean: Dead Man’s Chest | 32 adegan | District | 137 adegan |
Assault On Precinct 13 | 242 adegan | Electra | 208 adegan |
Taxi | 138 adegan | Locked Down | 98 adegan |
Big Boss | 55 adegan | The Protector | 310 adegan |
Beach | 18 adegan | Fast Five | 54 adegan |
Fist of Furry | 27 adegan | Scorpion King | 26 adegan |
My Father is a Hero | 68 adegan | Raw Deal | 19 adegan |
Gladiator | 18 adegan | Wanted | 30 adegan |
Die Hard | 13 adegan | Prince of Persia | 23 adegan |
Troy | 35 adegan | Inferno | 26 adegan |
The Queen of Damned | 13 adegan | Danny the Dog | 45 adegan |
Mr. & Mrs. Smith | 32 adegan | Resident Evil | 20 adegan |
Shoot ‘Em up | 23 adegan | Bodyguard & Assasin | 17 adegan |
Cop Out | 39 adegan | The Mummy Return | 25 adegan |
Sucker Punch | 56 adegan | Hitman Contract Killer | 25 adegan |
Game Death | 63 adegan | Dare Devil | 16 adegan |
The Mummy | 39 adegan | The Bourne Ultimatum | 13 adegan |
Next | 36 adegan | Legend of Bruce Lee | 14 adegan |
Chronicle Riddick | 45 adegan | King of Fighter | 14 adegan |
Black Mask | 121 adegan | Bird on Wire | 48 adegan |
From Paris With Love | 53 adegan | Locked Down | 63 adegan |
Sherlock Holmes | 46 adegan |
Sumber: Ketika Film Layar Lebar Hadir di Televisi, Jakarta, 2015, hal. 173-174
Tabel 5.
Pelanggaran Konsumsi Alkohol pada film lepas di SCTV
Film | Waktu | Pelaggaran Alkohol |
Srigala Terakhir | Nop’13 | 48 adegan |
18++ Forever Love | Jan’14 | 34 adegan |
Air Terjun Pengantin Puket | Jan’14 | 13 adegan |
Srigala Terakhir | Jan’14 | 62 adegan |
Honeymoon | Feb’14 | 28 adegan |
Honeymoon | Agst’14 | 20 adegan |
Slank Nggak Ada Matinya | Agts’14 | 24 adegan |
Sumber: Ketika Film Layar Lebar Hadir di Televisi, Jakarta, 2015, hal. 157
Ancaman Imperialisme Budaya
Hingga saat ini penetrasi media penyiaran di masyarakat Indonesia masih yang tertinggi bila dibandingkan media massa lainnya. Televisi masih menjadi referensi 95% masyarakat Indonesia untuk menggunakan media massa, disusul radio 47%, Internet 33%, Koran 12 %, Bioskop 11% dan Majalah 5 % (lihat Tabel 6).Oleh karena itu, banyaknya muatan asing di media penyiaran terutama televisi, tentu tidak bisa kita biarkan. Karena berpotensi besar mempengaruhi perilaku masyarakat.
Apalagi dalam kondisi bangsa kita tengah menuai bonus demografi. Bisa dibayangkan jika masyarakat semakin hari semakin menyukai dan bahkan menikmati dan menggandrungi muatan-muatan penyiaran asing seperti film, sinetron, dan program-program hiburan yang lainnya, maka hal ini potensial bangsa kita terserang imperialisme kebudayaan.
Tabel 6.
Penetrasi Media Massa
MEDIA | Q1 2013 | Q1 2014 |
Televisi | 94% | 95% |
Radio | 55% | 47% |
Koran | 12% | 12% |
Internet | 29% | 33% |
Majalah | 6% | 5% |
Bioskop | 11% | 11% |
Sumber: Nielsen Quartal 1- 2013 dan Quartal 1- 2014
Menurut Hans J. Morgenthau dalam bukunya “Politik Antarbangsa”, yang dimaksud imperialisme kebudayaan adalah metode politik imperialistis yang paling halus yang bertujuan untuk penaklukan dan pengendalian pemikiran manusia sebagai alat untuk hubungan kekuasaan antara dua negara. [11]Lebih jauh Morgenthau menyatakan, bahwa peranan khas yang dimainkan imperialisme kebudayaan dalam zaman modern ini, merupakan tambahan pada metode imperialisme lain yaitu imperialisme ekonomi dan militer. Atau dengan kata lain imperialisme kebudayaan berperan untuk melemahkan musuh, menyiapkan medan untuk penaklukan militer atau ekonomi.[12]
Dari gambaran di atas tentang hakikat imperialisme kebudayaan, tentu yang paling dekat dengan kondisi bangsa kita saat ini adalah potensi bangsa lain untuk melakukan imperialisme ekonomi terhadap negara kita. Hal ini karena Indonesia mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Apalagi kini bangsa kita bukan hanya tengah terjadi bonus demografi atau penduduk usia produktifnya lebih besar dibandingkan penduduk usia non produktif (60%:40%), namun juga merasakan apa yang Yushody istilahkan sebagai Consumer 3000. Menurut Yuswohady, bahwa sejak 2011 untuk pertama kalinya GDP per kapita Indonesia menembus angka $3,000 atau tepatnya $3,270. Dengan GDP per kapita menembus $3,000, menurut Yuswohady akan melahirkan konsumen kelas menengah yang umumnya memiliki pendapatan “menganggur” (dicretionary income)hingga sekitar 1/3 pendapatannya. Mereka inilah yang ia maksudkan sebagai Consumer 3000.[13]
Fenomena ini menunjukan bahwa negara kita bukan lagi tergolong sebagai negara berkembang. Apalagi dengan penduduk lebih dari 240 juta jiwa, bangsa kita telah menjadi kekuatan ekonomi Untuk itu, di mata bangsa lain, Indonesia adalah pasar yang setaraf dengan bangsa-bangsa lain di dunia seperti China, India, Korea Selatan, Brazil dan Rusia. Namun juga sekaligus pasar besar bagi bangsa lain. Sebagai contoh saat ini di kota-kota besar Indonesia kedai kopi Starbucksbegitu sukses. Atau restoran cepat saji seperti McDonald’s dan KFC sekarang buka hingga 24 jam dan tetap ramai. Belum lagi jika bicara macetnya Jakarta yang dipenuhi mobil-mobil bukan hanya yang biasa tapi juga yang mewah seperti Alphard, BMW, Mercedes Bens, dan sebagainya. Termasuk juga fenomena padatnya bandara akibat begitu banyaknya kini konsumen yang mampu membeli tiket pesawat.[14]
Dalam konteks ini, menyaksikan media penyiaran melalui program-program asingnya, terasa sekali bagai menggelar karpet merah bagi pengenalan budaya bangsa lain ke dalam kebiasaan bangsa Indonesia. Dan bila kebiasaan bangsa lain sudah juga menjadi kebiasaan (baca: budaya) bangsa kita, maka produk-produk dari negara lain itu, akan semakin mudah untuk dipasarkan di negara kita. Hal ini misalnya terlihat dari mulai menjamurnya restoran Jepang, restoran Korea, musik Barat, K-Pop, hingga bintang film dan sinetron pun kini tak sedikit yang berasal dari bangsa asing antara lain seperti India, Korea, Jepang, Amerika Serikat.
Mendorong Peran Media Penyiaran: Belajar dari Bangsa Lain
Ketika film anime dan komik Jepang membanjiri Korea Selatan 20 tahun yang lalu, para cerdik pandai di negeri itu berkumpul untuk mencari solusi dari invasi budaya ini. Kemudian ditemukanlah solusi dengan mengangkat cerita klasik Korea Selatan dari kekayaan budayanya ke layar kaca. Anggaran untuk memfasilitasinya pun mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Ternyata kemudian, selain sinetron klasik Korea Selatan yang meledak (salah satunya juga sempat muncul di Indonesia yaitu serial Jangem), muncul juga gelombang korea atau Korean Waveyang lain yaitu boy banddan girl bandala Korea yang bahkan kemudian mendunia.
Amerika Serikat juga melakukan kebijakan budaya yang tak kalah strategisnya. Film-film box office besutan hollywood meski dibuat oleh swasta, namun kerap berisikan simbol-simbol nasionalisme bangsa Amerika seperti bendera dan juga patung Liberty. Hal yang tak jauh beda juga dilakukan oleh negara-negara lain seperti India dan China.
Selain itu, negara-negara di dunia juga mengembangkan lembaga penyiaran publik (Public Service Broadcasting) yang profesional yaitu antara lain: BBC di Inggris, NHK di Jepang, ABC di Australia, DW di Jerman, KBS di Korea Selatan, RUTUK di Turki, dan RTHK di Hongkong. Lembaga penyiaran publik ini berfungsi melayani masyarakat terutama pada hal-hal yang lembaga penyiaran swasta (commercial broadcasting) atau lembaga penyiaran pemerintah (state broadcasting) tidak melayani secara optimal akibat orientasi yang berbeda, yaitu TV swasta untuk kepentingan komersial dan TV pemerintah untuk kepentingan/corong pemerintah.
Ada 3 fungsi dari lembaga penyiaran publik ini menurut John Reith, direktur jenderal pertama BBC di tahun 1972 yaitu untuk “menginformasikan, mendidik dan menghibur” (to inform, educate, and entertain). Hadirnya sebuah lembaga penyiaran publik dimaksudkan untuk melayani masyarakat, sementara pada saat yang sama memenuhi kepentingan minoritas. Di Hong Kong,misalnya, program musik klasik, opera Kanton, program untuk program parenting dan pendidikan, secara umum, relatif berisiko bila disiarkan oleh TV komersial. Namun RTHK, sebagai lembaga penyiaran publik, mengambil tanggung jawab untuk menyediakan program minoritas ini, dan telah menerima penghargaan publik selama bertahun-tahun.[15]
Bahkan beberapa lembaga penyiaran publik negara-negara lain juga membuat program untuk masyarakat dunia. BBC mengistilahkannya sebagai BBC World, begitu juga dengan NHK World. Amerika Serikat menamakannya sebagi VOA (Voice of Amerika). Sebagai contoh: BBC World Service menyiarkan kepada duniamelaluiradio, TV dan online, dengan memberikan berita dan informasi dalam 27 bahasa dan layanan dunia bahasa Inggris.Sementara untuk pendanaannya, BBC adalah stasiun penyiaran publik yang didanai oleh biaya lisensi yang dibayarkan oleh rumah tangga di Inggris.Walaupun kini BBC juga mengembangkan divisikomersial,yaitu jaringanBBC Worldwide serta sejumlah usaha komersial lainnya yang keuntungan dari kegiatan ini kembali ke BBC untuk investasi dalam pemrograman dan layanan baru.[16]
Belajar dari bangsa lain, ternyata kita temukan bahwa bangsa lain demikian serius untuk membuat strategi budaya untuk meningkatkan produktifitas masyarakatnya melalui siaran yang menginformasi, mendidik, dan juga menghibur yang sehat. Upaya ini kemudian disalurkan dalam bentuk program-program televisi atau media komunikasi massa lainnya hingga akhirnya sampai kepada masyarakat luas dan bahkan mancanegara.
Melihat fenomena yang terjadi terkait penyiaran dan bonus demografi tentu muncul pertanyaan yang menggelitik; “bagaimana menumbuhkan produktifitas pada bangsa kita? Apakah akan terus kita biarkan masyarakat kita hanya menjadi pasar dari produk budaya bangsa lain?” tentu harapannya tidak demikian. Apalagi mengingat bangsa kita punya potensi yang besar akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya.
Oleh karena itu, mendorong media penyiaran kita memproduksi dan menyiarkan program-program yang menumbuhkan produktifitas dan bangga menjadi bangsa ini, haruslah segera diupayakan. Upaya ini hendaknya tidak menunggu lagi. Harus segera digerakan oleh semua elemen masyarakat. Oleh seluruh para pengampu kepentingan, cerdik pandai negeri ini, maupun oleh kita semua para pengguna media penyiaran. Terutama agar bonus demografi dan kebangkitan kelas mengengah Indonesia yang ditunai dalam 10 tahun ini dapat optimal untuk kemakmuran bangsa kita bukan sebaliknya.
Penutup
Berdasarkan data KPI Pusat jumlah lembaga penyiaran yang ada di seluruh Indonesia hingga Juni 2016 adalah sebanyak 4691 yang terdiri dari 1501 stasiun televisi dan 3190 radio. [17]Ini jumlah yang sangat besar, dan juga merupakan posisi yang strategis. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan penduduk yang tinggal tersebar di ribuan pulau.
Ditambah lagi Indonesia bukanlahnegara bangsa, ada ratusan etnis, bahasa, dan budaya hidup dan tumbuh menjadi unsur dan bagian dari negeri ini. Belum lagi tantangan alam yang tidak mudah karena terdiri dari rantai gunung berapi aktif, sehingga menjadikan Indonesia rentan terhadap bencana alam. Kondisi ini membuat media penyiaran sangat strategis sebagai agen perubah dan juga agen sosialisasi, pendidikan, dan perekat sosial.
Oleh karena itu sudah saatnya kita mendorongmedia penyiaranberperan lebih aktif lagi untuk dalam menumbuhkan produktifitas dan rasa cinta tanahair. Terutama untuk membangun budaya mandiri, profesional, dan produktir serta cinta tanah airbagi optimalisasi bonus demografi Indonesia.Agar bangsa kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri, agar kemakmuran benar-benar merata dan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Semoga. ***
*Anggota KPI Pusat periode 2010-2013 dan 2013-2016, Penulis Buku : Ketika Film Layar Lebar Hadir di Televisi, Pegiat Literasi Media dan Penyadaran Bahaya Pornografi, Ketua Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP)
Daftar Pustaka
Buku
Morgenthau, Hans J. (2010), Politik Antar Bangsa (terjemahan dari “Politics Among Nations, The Strugle for Power and Peace”), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Morissan, M.A. (2008), Manajemen Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi, Jakarta: Kkencana Media Prenada Media
SK, Ishadi, (2014), Media dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas Gramedia
Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Penerbit: Komisi Penyiaran Indonesia
Subagijo, Azimah dan Yayu Sriwartini, (2015),Ketika Film Layar Lebar Hadir di Televisi, Jakarta: Grassindo
Wiryawan, Hari,(2011), Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia,Surakarta: LPPS
Yuswohady, (2012), Consumer 3000 Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: Gramedia
Suratkabar
Yuswohadi, (12/5/2013), Bonus Demografi, Rubrik Opini, Jakarta:Harian Sindo
Internet
http://www.bbc.co.uk/aboutthebbc/insidethebbc/whoweare/ataglance
https://bisnis.tempo.co/read/news/2005/10/14/05667999/60-perusahaan-iklan-tutup-akibat-persaingan-tidak-sehat
10 Questions and Answers for Public Service Broadcasting, RADIO TELEVISION HONG KONG(RTHK),
http://www.rthk.org.hk/special/psb/pdf/PSB_10QAs_LrtH.pdf
Laporan
Laporan KPI Pusat saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi 1 DPRRI, 27 Juli 2016.
PIC : Vilensia – 915080036