KERJA IDEOLOGIS DAN TEKNOKRATIS
Indonesia dikenal sebagai negara yang terampil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, apalagi pada masa Orde Baru. Indonesia juga pernah dikenang sebagai Macan Asia karena mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi bersama Cina, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan lain-lain. Namun, sejarah juga mencatat Republik ini bukanlah negara yang teruji membagi kue ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cuma singgah pada lapis golongan atas masyarakat.
Sebaliknya, warga paling bawah hanya menjadi kerak ekonomi. Nisbah ekonomi tak pernah mampir ke dalam hidup mereka; mereka menjadi paria dalam struktur ekonomi. Ketimpangan ekonomi menjadi warisan sejarah yang seperti tidak bisa dikikis. Pertumbuhan ekonomi yang digapai layaknya fatamorgana, hanya terbayang di mata mereka, namun tidak pernah digenggam. Data-data statistik memang menunjukkan itu. Sampai 2014, satu persen penduduk paling atas memegang 53,5% kekayaan nasional (Credit Suisse, 2014).
Menyadari situasi tersebut, sejak awal 2015 pemerintah berpeluh agar model pembangunan semacam itu diakhiri. Pertumbuhan ekonomi laik diikhtiarkan, tapi di atas segalanya mutu atas pertumbuhan ekonomi mesti diperjuangkan. Hasilnya, sejak 2015-2018 kita menjumpai era baru standar pembangunan ekonomi di Indonesia, karena pertumbuhan ekonomi diikuti dengan penurunan tiga penyakit ekonomi yang paling mematikan, yakni kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Kemiskinan sejak Maret 2018 telah turun menjadi 9,82%; ini pertama kalinya angka kemiskinan bisa ditekan di bawah 10%; dan kemiskinan September 2018 (yang baru diumumkan oleh BPS) menurun lagi menjadi 9,66%. Penurunan ketimpangan tidak kalah dramatik. Pada September 2014 ketimpangan (melalui alat ukur rasio gini) mencapai puncaknya di atas 0,4 (tepatnya 0,414), sekarang secara konsisten turun menjadi 0,384 (September 2018). Hal yang sama terjadi pula pada indikator pengangguran yang terus menurun (sekarang 5,3%).
Data kemiskinan yang terus menurun itu masih dilengkapi dengan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan yang juga meluncur turun. Artinya, kualitas penurunan kemiskinan tersebut dicapai dengan kualitas yang bagus. Tercatat pada September 2018 ini indeks kedalaman kemiskinan turun menjadi 1,63 dan indeks keparahan kemiskinan menjadi 0,41. Ini semua bisa terjadi antara lain akibat kenaikan NTP (Nilai Tukar Petani) dan tingkat upah harian yang menjadi penanda peningkatan kesejahteraan masyarakat lapis bawah.
Di luar itu, data inflasi yang menjadi sinyal stabilitas harga, juga proteksi terhadap daya beli golongan miskin dan berpendapatan tetap, selalu bisa ditekan di bawah 3,6% selama 4 tahun berturut-turut. Ini adalah rekor terbaik yang pernah dicapai oleh bangsa ini. Pada 2013 dan 2014 inflasi masih pada level 8,3%. Indonesia juga punya kisah inflasi yang menjulang, misalnya pada 1965/1966 yang mencapai 650% dan 1998 setinggi 88%. Sulit sekali bisa menjaga inflasi di bawah 5%. Namun, aneka upaya yang dikerjakan membuktikan inflasi di bawah 5% bukanlah standar yang utopis bagi Indonesia.
Inflasi yang stabil dan terjaga cukup rendah ini penting untuk memastikan kekayaan golongan miskin dan berpendapatan tetap tidak dirampok oleh kenaikan harga. Golongan ini sangat rentan dengan inflasi, khususnya komoditas pangan, sehingga menyebabkan fluktuasi jumlah orang miskin. Oleh karena itu, keberhasilan pemerintah mengelola inflasi sebetulnya sebangun dengan komitmen moral melindungi kaum papa. Inflasi bukan sekadar pesan keberhasilan teknokratis, tetapi juga sinyal kerja ideologis.
Jadi, pencapaian ini hanya mungkin diperoleh lewat kombinasi kerja ideologis dan teknokratis. Secara ideologis pemerintah menjalankan penuh mandat konstitusi agar hajat publik dimuliakan. Menumbuhkan ekonomi adalah perkara penting, namun membagi kesejahteraan juga mandat genting. Secara teknokratis, rangkaian kebijakan dan program disusun secara sistematis dan dikawal dengan sigap. Empat tahun ini hal-hal itulah yang dikerjakan secara spartan.
Secara ideologis, Nawacita yang disusun merupakan penjelmaan dari mandat konstitusi dan situasi terkini yang harus dipanggul. Jadi, terma membangun dari pinggiran, kemandirian ekonomi, dan meningkatkan produktivitas ekonomi rakyat merupakan bagian dari tali filosofis yang membuat kerja-kerja teknokratis bisa dirumuskan dalam wujud kebijakan dan program. Ini juga yang memudahkan perkara-perkara laten di muka diurai dan dicarikan jalan penyelesaian.
Agenda keadilan ekonomi itulah yang kemudian disusun menjadi kebijakan dan program tajam yang membuat perubahan penting bisa dieksekusi. Politik fiskal digeser, misalnya belanja perlindungan sosial naik sekitar 10 kali lipat, belanja fungsi ekonomi meningkat dua kali lipat, anggaran kesehatan memenuhi 5% dari UU, infrastruktur anggarannya melonjak untuk membangun daerah yang masih tertinggal, Dana Desa digelontorkan, petani dan pekebun diberi aset dan akses tanah dalam program RAPS, pajak UMKM diturunkan, dan masih banyak lainnya.
Di masa mendatang penajaman kebijakan dan program keadilan ekonomi menjadi pertaruhan atas apa yang sekarang sudah dimulai. Promosi pertumbuhan ekonomi tentu perlu diupayakan sekuatnya, namun tidak boleh meminggirkan -apalagi menindih- target pembangunan lain yang begitu penting, yakni pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Jika pertumbuhan ekonomi yang diperoleh abai terhadap salah satu saja dari masalah tersebut, berarti pertumbuhan itu tak memberikan maslahat bagi seluruh warga Republik.
Pada level tertentu, angka ketimpangan yang meningkat bahkan dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Kasus 2011-2014 menjadi salah satu hikmah, di mana pertumbuhan ekonomi yang kian menurun terjadi bersamaan dengan melajunya tingkat ketimpangan. Tentu saja, penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut juga dipengaruhi oleh sebab lain, misalnya tekanan ekonomi global. Kita tak ingin hal itu terulang lagi, sehingga kerja mesti diteruskan dan diperjuangkan menuju Indonesia maju.
penulis: Ahmad Erani Yustika,Guru Besar FEB UB, Staf Khusus Presiden,
sumber: detik.com