ANCAMAN BONUS DEMOGRAFI
ybb.or.id, Jakarta — ‘…rasio ketergantungan terendah atau dependency ratio yang kemudian seringkali disalah fahami sebagai puncak bonus demografi Indonesia, diperkirakan berlangsung sekitar 4 (empat) tahun, yakni 2028 hingga 2031…dan sebenarnya yang lebih penting untuk kita maknai bahwa pada dasarnya perkembangan struktur usia penduduk pada periode tersebut memang secara alami akan sampai pada rasio ketergantungan itu…’ ujar Turro Wongkaren, Kepala Lembaga Demografi (LD) Universitas Indonesia, pada kesempatan bincang dengan reporter YBB, di Jakarta.
‘…artinya, apakah akan jadi bonus atau tidak, jumlah penduduk usia produktif akan terus bertambah sampai titik tertentu kembali menurun terus hingga perbandingan porsi kaum lansia lebih tinggi dari usia produktif itu sendiri…’ tambahnya. Menurut Turro, yang jadi persoalan adalah bagaimana kita (baca: Pemerintah) memanfaatkan secara optimal potensi jumlah besar usia produktif itu, yang diperkirakan mencapai kisaran 68% dari jumlah penduduk.
Ada ancaman bahaya dibalik besarnya jumlah usia produktif yang didominasi kaum muda jika phase tidak dikawal ketat oleh Pemerintah melalui regulasi dan kebijakan-kebijakan strategis berbasis kependudukan dan demografi. ‘…dan mesti diakui, pihak pemangku kepentingan agak lamban menanggapi persoalan demografi ini. Sebagai contoh, Peraturan Presiden Nomor 153 tahun 2014 tentang Grand Design Pembangunan Kependudukan masih juga belum jelas implementasinya. Padahal Peraturan Presiden tersebut sudah cukup komprehensif, mengatur mulai dari pusat sampai daerah…’ ungkapnya.
‘…yang saya khawatirkan ketika jumlah kaum muda produktif sampai dipuncak tertinggi namun tidak dibarengi dengan ketersedian penyaluran enerji mereka, seperti lapangan kerja, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi lainnya, termasuk tabungan. Apa kira-kira yang dapat terjadi?…’ tanyanya. Terlebih, menurut Turro, di waktu mendatang tenaga-tenaga terdidik dipastikan semakin besar pula.
‘…pada waktunya, kaum muda usia produktif kita itu akan bergelut di medan persaingan ketat, tidak saja sesama anak bangsa melainkan dengan bangsa lainnya…’ sambungnya.
Oleh karena itu, mempersiapkan mereka menjadi tenaga kerja terampil (skill worker), selain peluang usaha harus benar-benar jadi perhatian. Di era digitalisasi yang mewarnai tantangan abad 21, tantangan ekonomi digital, semestinya menjadi salah satu peluang potensi yang menguntungkan Indonesia. ‘…dengan jumlah 41% dari jumlah usia produktif se-kawasan Asia Tenggara, maka kita (baca: Indonesia) sangat berpeluang mengatasi efek dibalik bonus demografi sekaligus menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia…’ ujarnya optimis.
‘…kita bisa belajar dari Korea Selatan di saat mereka menghadapi puncak jumlah usia produktifnya, atau negara-negara lain yang telah usai melewatinya sehingga kekhawatiran terjadi ancaman bahaya bisa diarahkan ke kondisi yang bermanfaat dan menguntungkan bagi kita…’
Selain phase titik terendah rasio ketergantungan usia produktif, Turro mengingatkan phase berikutnya yang juga tidak kalah resisten dan mengkhawatirkan, yakni ketika lansia mulai lebih besar dibanding usia produktif. Phase tersebut pasti akan dialami oleh semua negara yang pernah menikmati era bonus demografi, termasuk Indonesia.
‘…saya tidak terlalu yakin, Pemerintah sudah juga menghitung dengan cermat phase tersebut…’ ujar Turro. Ada persoalan-persoalan khas Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan bangsa atau negara lainnya. Misal, terkait dengan budaya atau adat istiadat dalam memperlakukan lansia.
Menurut Turro, kesiapan Pemerintah diuji benar dalam beberapa tahun ke depan. ‘…ya kita berharap Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus sudah benar-benar penduli dan tidak sekedar mempersiapkan melainkan harus sudah mulai beraksi menangani persoalan kependudukan dengan serius sehingga bisa jadi bonus, bukan malapetaka demografi…’ harapnya menutup bincang-bincangnya.
sb: esispr//