DINAMIKA KEPARIWISATAAN INDONESIA
Novita Miniarti *)
Diproyeksikan pada tahun 2019, rumpun jasa pariwisata akan menjadi leading sector dalam perekonomian Indonesia, mengungguli sektor pertambangan, sawit, dan karet yang saat ini masih menjadi primadona penggerak ekonomi nasional. Oleh karenanya membangun industri pariwisata berhubungan dengan keunggulan kompetitif Indonesia yang unik dengan keindahan landskap, keragaman budaya, warisan sejarah dan kuliner sehingga Indonesia mempunyai keunggulan sebagai destinasi wisata yang secara potensial sulit ditandingi tersebut merupakan suatu keharusan. Pemerintah amat menyadari hal ini dengan melakukan promosi pariwisata melalui kampanye Wonderful Indonesia, membangun destinasi wisata baru, serta mempermudah fasilitasi kunjungan dengan kebijakan pembebasan visa kunjungan. Rumpun jasa pariwisata, secara nominal, nilai pemasukan dari rumpun jasa ini mencapai 1.070 trilyun, mengalahkan pendapatan pariwisata Thailand (1.060 trilyun) yang merupakan destinasi wisata utama wisata ASEAN.
Dengan tidak mengurangi rasa bangga atas prestasi raihan Wonderful Indonesia, faktual rumpun jasa pariwisata kita masih kalah jauh dibanding Malaysia dan Thailand; Indonesia baru berhasil menarik wisata mancanegara dikisaran 10 juta, sedang Malaysia diatas 15 juta, dan Thailand di interval 17-20 juta. Apa masalah yang melilit dunia pariwisata kita? Paling tidak ada tiga persoalan yang masih menjadi permasalahan dunia pariwisata kita. Pertama, masih belum terkoordinir dengan baik mata rantai penunjang kepariwisataan kita; antara perhotelan, moda transportasi (darat, laut, dan udara), pengelola objek wisata, dan pendukung lainnya. Kedua, ketidak merataan destinasi wisata yang masih bertumpu pada wilayah tertentu, dan objek-objek yang sudah tertata apik. Ketiga, kekurangsiapan daya dukung SDM masyarakat sekitar objek wisata.
Dari ketiga persoalan tersebut, yang dirasakan paling mengganjal adalah terkait dengan masalah kesiapan masyarakat kita dalam mendukung perkembangan kepariwisataan, yakni masalah komunikasi dan lingkungan. Satu contoh, apakah destinasi wisata Malaysia lebih baik dari Indonesia, namun mengapa wisman lebih tertarik mengunjungi Malaysia? Dari literasi yang saya baca, kemampuan komunikasi (penguasaan bahasa iternasional, Inggris) masyarakat Malaysia jauh lebih baik dari masyarakat kita. Sehingga dengan komunikasi yang bagus, mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi turis-turis asing.
Kedua, kesadaran pemeliharaan lingkungan objek wisata oleh masyarakat kita boleh terbilang rendah, kecuali destinasi yang memang sudah dikenal dan terkenal di manca Negara, seperti di Bali misalnya. Kita tidak bisa pungkiri untuk destinasi wisata lainnya, terutama yang dikelola oleh pemerintah daerah, jauh dari perawatan; terkesan jorok dan tidak ramah lingkungan. Misal, toilet yang kelihatan apa adanya, sampah berantakan yang mengganggu bukan saja bagi kesehatan tetapi juga membuat mata pedih melihatnya dan mengurangi estetika.
Kedua masalah itu tentu sepenuhnya tidak bisa hanya mengandalkan pada perangkat pemerintah, dalam hal ini Kemenpar ataupun Dinas Pariwisata semata, melainkan harus menjadi bagian tugas dan tanggungjawab kita bersama selaku orang yang bergerak di rumpun jasa ini. Bagaimana kita bisa mengembangkan kerjasama menggandeng Disnaker (BLK), Disparbud daerah, dan perangkat sekitar objek wisata untuk secara bersama melakukan sosialisasi dan pelatihan guna meningkat potensi daya (SDM) masyarakat yang objek wisata menjadi ladang garapan dan tumpuan sumber mata pencaharian kita.
Mudah-mudahan kelompok-kelompok penggiat kepariwisataan Indonesia ke depan bisa bersinerji yang mampu memberi kontribusi lebih bagi dunia kepariwisataan Nasional dan Daerah (lokal).
*) Penulis owner infolibur.com