MENGADU PADA MEDIA
Kemerdekaan yang kita rasakan sekarang adalah sebuah perjuangan tanpa henti segenap anak bangsa. Upaya keras penuh tantangan dan berbagai macam pengorbanan dari pikiran, tenaga, modal, keringat, bahkan nyawa telah membuktikan tekad yang di persatukan demi mencapai kebebasan dari penderitaan dan kebiadaban penjajahan asing sudah tak tertahankan. Kebebasan adalah harga mati bagi pejuang bangsa saat itu.
Namun, apa yang terjadi sekarang dengan bangsa kita ? Perlahan-lahan kebebasan yang kita raih terkikis dan terlihat pelan-pelan di maknai sebagai kebebasan tanpa harga—sekedar seremonial tahunan. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi di tengah semakin meningkatnya taraf kecerdasan oleh pendidikan dan kemajuan peradaban dunia membuat segelintir elit politik sibuk mempertahan ego kepuasannya berpendapat dengan tajamnya tapi tidak di asah dengan kebebasan bertanggung jawab. Kemerdekaan jenis apa pula ini, jika kita sibuk menyalahkan dan enggan memberikan klarifikasi saat opini telah menyesatkan. Elit menyebutnya demokrasi kebebasan berpendapat, padahal demokrasi jenis tersebut memiliki prasyarat ; bebas tapi bertanggung jawab.
Maka, bolehlah kita mengambil suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya usia, pengalaman, pendidikan, jabatan, atau segala tetek bengek yang melekat pada kompetensi pribadi seseorang tidak menjaminkan moral yang setara atau sudah sepantasnya. Karena itu, dalam bukunya, Lawrance Kohlberg ( Kohlberg, Tahap-tahap perkembangan moral, 1995) mengambil sebuah konklusi, bahwa perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu, bukan sebaliknya.
Apa yang hilang dari makna moral kemerdekaan dari masa lalu adalah para pejuang bangsa kita hanya mempunyai dua pilihan; merdeka atau mati. Pilihan nan ringkas dan tegas tersebut sepertinya menjadi bias bagi para elit bermuka dua, bahkan cenderung multi tafsir sesuai dengan situasi keadaan— terpendar, abu-abu. Akibatnya, bisa kita rasakan sekarang, menciptakan sekat di tengah warga dengan pelabelan perkubuan sehingga menampung sekelompok individu fanatisme berlebihan. Narasi-narasi provokatif ini akan terus berlipat ganda ketika nantinya akan menjelang pemilihan presidan dan wakil presiden. Semakin mendebarkan, jika kita berkaca pada proyeksi KPU, bahwa pemilih muda (17 tahun -35 tahun) menjadi lebih dominan dengan angka fantastis mendekati 100 juta pemilih dari sekitar 196 lebih pemilih. Ledakan pemilih ini terjadi karena perubahan struktur usia produktif Indonesia tengah mengalami perubahan ekstrem yang biasa di sebut dengan bonus demografi. Mengapa pula ini mendebarkan ? Karena akselerasi para elit politik sudah menangkap dan menganalisa peta pemilih muda yang cenderung menyukai kanal-kanal inovasi seperti media sosial dalam mencari berita. Tentu saja ini sangat rentan di susupi “doktrin” pemberitaan memihak dan isu-isu yang provokatif karena ketiadaan keharusan verifikasi informasi.
Peran yang melekat dari para elit yang katanya mewakili aspirasi rakyat, layaknya sopir bus kota ugal-ugalan di tengah kota menunjukkan atraksi berbahaya bagi penumpang sehingga berisiko kecelakaan fatal. Jika sudah kecelakaan, alasannya sungguh sakti ; penumpang ingin lebih cepat sampai. Beginilah elit membanggakan statusnya: Lempar batu, sembunyi tangan.
Berapa banyak kita mendengar, membaca, dan menyaksikan di berbagai media mainstream, pencitraan berlebihan, komentar tak mendidik, data invalid, hingga menjadikan pribadinya provokator SARA murahan, yang lagi-lagi, seolah-olah tidak bersalah menuturkan pembelaan diri dengan naifnya; “rakyat jangan di bohongi”. Dahulu , ketika kita masih dalam pergaulan remaja, pastilah sering menyebut jenis kawan yang menjengkelkan dengan sebutan sok tahu atau sok pintar. Beranjak dewasa kita menandai orang seperti itu penjilat atau pahlawan kesiangan.
Celakanya, media sepertinya terbawa arus deras terhadap elit tipe penjilat dan pahlawan kesiangan tersebut dengan terlihat permisif memberikan panggung sorotan. Apakah ini hanya sekedar meningkatkan rating siaran belaka atau page rangking ? Rasanya terlalu dangkal, apalagi media sebenarnya memiliki misi mulia; corong suara rakyat dan pencerdasan informasi dengan penyampaian sesuai fakta lapangan sekaligus mendidik.
Kritik terhadap media arus utama dan berbagai media daring agar berdiri kokoh dengan misi mulianya bukan sekedar komersialisasi publisitas oknum tertentu ataupun sekedar blowup berita, menunjukkan kemerdekaan media benar-benar serupa dan sejajar dengan jerih payah para pahlawan kita di masa lalu, merebut kemerdekaan dengan tekad merdeka atau mati. Inilah harga yang harus di tebus. Pertanyaannya sekarang, beranikah insan media bersikap profesional, berimbang dan mendidik, “merebut” kemerdekaan pemberitaan itu dengan risiko “mati karir” ?. Mungkin terlalu “fatamorgana” jika kita menyebut harus berani mengambil risiko nyawa. Ah, rasanya, hal itu hanya terjadi dalam mimpi. Semoga ada oase di tengah padang gurun.
***
pic: Suara Muhammadiyah