KEGUNAAN MEMBANGUN KARAKTER

Saat ini dan untuk beberapa waktu ke depan Indonesia sedang menghadapi tantangan demografi dimana kaum muda kita bukan saja dihadapkan pada kondisi persaingan ketat antarsesama anak bangsa melainkan juga dengan bangsa lainnya. Dalam konteks ini, tentunya, selain tuntutan standar kompetensi global yang harus dipenuhi oleh kaum muda kita, yang tidak kalah penting adalah bagaimana membekali karakter agar mereka nanti benar-benar siap menghadapi tantangan demografi dan dapat mengungguli persaingan tersebut, baik dari sisi kompetensi kinerja maupun kompetensi moral.

Penguatan karakter dari sejak dini sangat penting. Menurut pengalaman mereka yang bercimpung di dunia pendidikan, di awal pendidikan yang perlu ditekankan itu bukan ilmu penegetahuannya melainkan sifat-sifat yang bisa membangun rasa keingintahuan, gemar bertanya (kritis), solidaritas, atau kepekaan sosial, kolaborasi, kreativitas, keterampilan, dan banyak hal lain yang kemudian pada gilirannya membentuk perilaku dan sikap.Setelah semua itu menjadi biasa, baru pendidikan masuk ke wilayah sains dan teknologi. Adapun untuk menjawab tantangan ke depan, anak didik mulai terbiasa dengan alat-alat teknologi seperti robot, kerajinan tangan (misalnya origami) untuk melatih ketekunan, tidak cepat bosan, tidak cepat puas.

Semua itu harus jadi attitude, karena umumnya keberhasilan yang tinggi (altitude) itu fungsi dari attitude. Hasil-hasil riset mengarah pada pemahaman dimana karakter, soft skill, itu menyumbangkan sekitar 80% keberhasilan seseorang. Sedang sisanya, sekitar 20% baru yang berkaitan dengan hard skill. Orang-orang yang mempunyai soft skill yang tinggi mampu bertahan dan sukses di dunia yang semakin kompleks dan ketat, plus kejam dengan daya saing tinggi.

Begitu pentingkah membangun karakter? Ambil contoh, Di Jepang, untuk tiga tahun pertama pendidikan yang dibeban pada siswa ialah menekankan pada pembangunan karakter dan kesantunan. Sebaliknya, di Indonesia, pendekatan yang digunakan lebih mengarah ilmu pengetahuan. Silahkan perhatikan, anak-anak usia dini, termasuk anak didik dibangku sekolah dasar, pertama-tama dijejali dengan hal-hal yang bersentuhan dengan pengetahuan. Ada Taman Kanak-kanak, yang memberi tambahan dalam kurikulum pendidikannya bahasa asing. Demikian juga padatnya hafalan dan hitungan membayangi mata pelajaran yang harus diserap anak.

Di era revolusi industry 4.0 ini, era millennial, era digital, era bonus demografi, dan masih sederet panjang era-era lagi, harus dilakukan inovasi proses penyelenggaraan pendidikan. Kecenderungan model pendidikan yang ada lebih bertumpu pada pola penghafalan sebaiknya sudah digeser dan diganti. Pola pendidikan berikutnya lebih bersandar pada sumber utama yang bersentuhan dengan asa, rasa, dan nalar. Atau model analisis. Sehingga ke depan diharapkan anak didik kita akan kuat dalam penalaran yang bersendi pada asa dan rasa.

Semestinya pendidikan di sekolah sudah bergeser dari model hafalan ke model analisis. Ini akan berpengaruh dan berkontribusi besar pada kemampuan untuk membangun daya nalar mereka. Oleh karena itu, guna membangun dan mengembangkan karakter dan potensi generasi kita maka tidak pelak lagi pendidikan dengan model analisis (contohnya, Kurtilas. meski tampaknya masih perlu kajian mendalam terkait kesempurnaan Kurtilas yang disinyalir memuat sejumlah kelemahan) merupakan sebuah keharusan. Melalui model itu pula diharapkan kita dapat mendorong motivasi kaum usia muda sedini mungkin agar mereka siap dengan perubahan dan bahkan kreatif dan aktif untuk melakukan perubahan itu sendiri secara positif.

Saya cukup prihatin melihat beban tas sekolah anak yang penuh dengan setumpuk buku yang harus mereka bawa dan hafalkan. Sementara saya tidak terlalu yakin mereka juga tidak tahu manfaat, kegunaan, dan menggunakannya dari apa yang mereka hafalkan selain memenuhi tuntutan pendidikan agar naik kelas dan lulus sekolah.

Seperti telah banyak diulas tentang tantangan di abad 21, terutama yang terkenal dan biasa dijadikan pegangan kalangan tenaga pendidik ialah konsep pendidikan yang tawarkan Trilling and Fadel (2009) yakni, 21st Century Skills. Menurut keduanya, di abad 21 ini ada 3 (tiga) pengelompokan keterampilan yang harus dikuasai terbagai atas (1). Learning and Innovation skills; (2). Information media and technology skills, dan; (3). Life and career skills. Berangkat dari konsep tersebut harus diakui bahwa kebanyakan tamatan pendidikan menengah ke atas kita masih lemah dalam hal komunikasi, kerjasama, kreativitas dan inovasi, berpikir kritis dan solusional. Padahal keterampilan-keterampilan tersebut amat menunjang bagi kemampuan mereka menghadapi perubahan cepat dunia, sebagai efek domino globalisasi. Dan, subtansi konsep pendidikan itu sangat jelas-jelas nyata merujuk pada pentingnya membangun karakter lebih awal dibanding lainnya.

Tiga empat tahun lalu masih terngiang ditelinga dan bergema dalam ingatan di mana Pemerintah berniat secara sungguh-sungguh membenahi karakter bangsa, baik itu melalui revolusi mentalnya, atau juga mengencangkan pendidikan karakter untuk anak didik. Semoga, niatan itu tidak surut dan bahkan diharapkan bisa lebih dikuatkan melalui tekad kebijakan politik penguatan sumber daya manusia (SDM) yang gerakannya di mulai di tahun ini.

***

 

you may also like