PILKADA SERENTAK MENUJU PERUBAHAN

 

Sekarang orang makin kebingungan melihat moralitas publik yang diperlihatkan banyak diantara kita, mulai dari rakyat biasa hingga pejabat, pemangku kekuasaan. Seakan tatanan nilai luhur, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun nilai-nilai sosial budaya sudah kolaps, sehingga tata pergaulan dan komunikasi  sudah sedemikian rupa, jauh dari etika, kesantunan, dan kebangkrutan moral sudah dikonfirmasi sebagai satu-satunya kenyataan di republik tercinta ini.

Tetapi, kita tidak boleh cepat-cepat putus asa. Sudah menjadi hukum alam bahwa setiap kecenderungan besar, dalam hal ini runtuhnya moralitas publik, akan menciptakan kecenderungan sebaliknya, yaitu upaya membangun moralitas publik. Secara diam-diam terjadi perlawanan terhadap kebangkrutan moral ini. Kisah sukses beberapa bupati dan walikota yang berupaya membangun tata pemerintahan yang baik sebetulnya adalah perlawanan terhadap gangguan oligarki politik lokal.

Timbulnya berbagai inisiatif lokal semacam ini mempunyai arti penting. Baru-baru ini ketika menghadiri pertemuan informal yang dilakukan oleh suatu komunitas rakyat biasa. Salah seorang dari mereka mengatakan perilaku dunia usaha khususnya dalam hubungan antar pengusaha secara pelan-pelan mengalami perbaikan. Tipu-menipu di antara pengusaha cepat dihukum, dan transaksi yang bersih mulai dipahami sebagai keharusan bisnis. Iklim diskusi ternyata positif dan agak optimistik. Orang-orang biasa yang hidupnya pas-pasan ternyata sangat ingin tahu tentang hal-hal yang dapat memperbaiki kinerja usaha mereka.

Memang, walaupun media dipenuhi berita buruk, entah korupsi, kekerasan dan bencana alam, ternyata ada kecenderungan sebaliknya yang dewasa ini masih sporadis, lokal, dan hanya sesekali timbul ke permukaan. Faktanya, media juga memperlihatkan bahwa kebangkrutan moralitas publik ternyata dilawan, misalnya dengan dissenting opinion sebagaimana terlihat dalam berbagai perdebatan dalam reformasi undang-undang yang ada, apakah itu di bidang perburuhan, perpajakan, politik, dan sebagainya.

Apa yang diperlukan adalah munculnya momentum sehingga orang-orang yang berjuang demi kebaikan bisa mendapatkan kesempatan ekspresi dengan demikian kehadiran mereka bisa menjadi kekuatan, dan dorongan perbaikan bisa menjadi kekuatan yang berarti. Mungkinkah Pilkada menciptakan momentum ini?

Masih terus bersama harapan, sekalipun kita layak pesimis mengingat pengalaman kita dalam berbagai Pilkada yang lalu. Soal lemahnya sosialisasi, tajamnya konflik internal partai maupun mereka dengan KPU, ketidaksiapan kertas suara dan banyak hal lainnya. Tapi sekali lagi, itu semua adalah kecenderungan umum, dimana terjadi ketidakbecusan yang merupakan bagian dari hancurnya moralitas publik.

Mudah-mudahan para politisi yang punya komitmen terhadap nilai-nilai politik yang baik akan dapat cepat dikenali publik dan mendapat dukungan. Politik berbasis nilai menjadi penting justru karena kita mengalami degradasi nilai yang luar biasa. Pilkada merupakan kesempatan bagi semua kecenderungan, yang baik maupun buruk, untuk tampil ke permukaan.

Bukankah pengalaman Pilkada beberapa waktu lalu, lepas dari makna akan hasil-hasilnya hari ini, telah menunjukkan bahwa rakyat mendapat kesempatan memperlihatkan kepada siapa sebetulnya mereka berpihak?

Bila Pilkada, seberapapun absurd dan ironisnya, adalah satu-satunya cara, maka yang tinggal adalah harapan. Justru, sebuah harapan di atas terjadinya paradoks-paradoks yang diperlukan bangsa ini, supaya kita semua berkesempatan menemukan kembali nurani dan akal-sehat kita.

***

you may also like