MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI ENDOGEN
Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia
Pertumbuhan ekonomi endogen (endogenous economic growth) adalah model ekonomi yang mengoptimalkan potensi internal negara. Model ini mengutamakan sumber daya manusia dengan kekuatan ilmu pengetahuan, sumber daya alam, aset teknologi dan kelembagaan. Pemikiran ini ditekuni secara konsisten sejak tahun 90an oleh Prof Romer yang awalnya bergelar sarjana fisika sebelum jadi ekonom handal. Hasil riset panjang ini akhirnya pada tahun 2018, Prof. Romer diganjar sebagai pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi.
Sudah lumrah diketahui bahwa penerima Hadiah Nobel ini dipilih secara ketat. Umumnya mereka adalah peneliti ulung yang konsisten menekuni bidangnya dalam kurun waktu yang cukup panjang. Tidak ada peneliti instant tahu-tahu menerima hadiah bergengsi itu. Rentang waktunya pun bisa lebih dari 20 tahun. Inilah yang disebut ‘ketekunan langka’ oleh Prof. Andi Hakim Nasoetion (2000).
Bila dilihat dari prasyarat model ekonomi endogen itu sebenarnya Indonesia mempunyai peluang menjadi negara adidaya ekonomi. Karena kita mempunyai modal dasar pembentukan model ekonomi endogen. Kita memiliki sumber daya alam, kelembagaan modal sosial (social capital), otonomi daerah, aset fisik (infrastruktur), lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah kekuatan endogen itu sudah benar-benar dikelola dengan baik? Inilah pekerjaan rumah (PR) seluruh komponen bangsa agar model pertumbuhan ekonomi endogen ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan Indonesia menjadi negara terhormat dengan kekuatan ekonomi berbasis pengetahuan dalam mengoptimalkan sumber daya internal.
Dampak terhadap kesejahteraan dari model pertumbuhan ekonomi endogen ini banyak terbukti di berbagai negara. Hal ini terjadi karena penguatan faktor internal (endogen) itu akan menarik eksternalitas positif sebagai ‘spillover’ pertumbuhan. Contoh nyata saat ini kita menyaksikan pertumbuhan Tiongkok yang dimulai dengan penguatan faktor dan kelembagaan endogen. Jack Ma juga menggarap UKM Tiongkok dalam pangan, kerajinan tangan, riset, dan modal manusia (human capital) yang tekun, rajin, kerja keras dan berkolaborasi. Jadilah Tiongkok sebagai raksasa ekonomi dunia yang terus tumbuh.
Teori pertumbuhan ekonomi endogen inilah yang penulis pergunakan dalam dua tulisan tentang ekonomi dan universitas di harian Koran Tempo (11 Desember 2018 dan 18 Januari 2019). Salah satu faktor endogen yang saya ambil adalah universitas. Sayangnya secara jumlah, ternyata banyaknya perguruan tinggi (PT) tidak memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan. Bahkan faktor jumlah itu justru mempunyai koefisien negatif alias beban. Sehingga penulis menyarankan adanya mergerisasi untuk mereduksi jumlah kampus.
Tulisan kedua (18 Januari 2019) penulis menyarankan untuk melakukan kerjasama antar faktor endogen yang kita miliki, khususnya kelembagaan pemerintah dan swasta. Salah satunya adalah memanfaatkan lembaga riset pemerintah yang umumnya kurang produktif untuk dikerjasamakan dengan perusahaan swasta. Kegiatannya tetap dalam dunia riset, tetapi lebih berorientasi profit yang sering disebut hilirisasi riset. Sebaiknya disebut secara eksplisit komersialisasi riset yang dipicu oleh kebutuhan pasar.
Dalam tulisan ini penulis ingin menyoroti faktor endogen yang sangat penting, yaitu sumber daya manusia berpengetahuan dan berketerampilan dinamakan modal manusia (human capital). Sudah barang tentu faktor manusia ini sangat berkaitan dengan lembaga pendidikan dari anak usia dini sampai perguruan tinggi. Kelemahan dalam menangani pendidikan ini efeknya akan fatal dalam model pertumbuhan ekonomi endogen. Model itu tidak akan jalan dan negara akan terus bergantung pada bantuan asing. Seperti yang kita rasakan sejak jargon ‘pembangunan’ ini dikumandangkan di awal pemerintahan orde baru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia pernah menikmati kue pembangunan ketika kandungan minyak kita masih bagus. Dalam hal pangan (beras) juga kita telah merubah keadaan dari pengimpor beras menjadi swasembada. Kemudian kita puas dan sudah merasa kuat, lalu lupa membenahi unsur endogen kelembagaan pemerintah, riset, pendidikan, tata kelola sumber daya alam, dan pendidikan karakter. Pada akhirnya, tahun 1998 kita malah harus menerima krisis multidimensi akibat KKN dan terjadi reformasi.
Solusi yang ditawarkan di era reformasi sepertinya tidak menukik pada esensi persoalan. Model pertumbuhan ekonomi endogen untuk penguatan SDM yang berkarakter, berkepribadian, berpengetahuan dan berketerampilan yang sangat perlu itu luput dari pembenahan. Kita terus loncat ke otonomi daerah dan demokratisasi politik. Tidak bisa dipungkiri akhirnya terjadi politisi instant, pejabat karbitan, eksploitasi SDA yang berlebihan, korupsi marak di berbagai instansi pusat dan daerah, serta produksi hoax. Semua itu kontra produktif untuk pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Tentu ada beberapa daerah yang memperlihatkan kemajuan signifikan. Akan tetapi persentasenya masih sangat kecil. Perguruan Tinggi yang terus bertambah pun tidak memberikan sumbangsih terhadap ekonomi berbasis inovasi dan pengetahuan. Padahal, dalam teori pertumbuhan ekonomi endogen ini, faktor modal manusia sangat sentral. Dalam hal perguruan tinggi ini, hampir semua universitas kita berbasis pengajaran, bukan berbasis riset.
Dalam konsep ekonomi learning by doing tidak ada kata terlambat. Akan tetapi kita harus belajar dari pengalaman masa lalu. Selain itu, kita tidak perlu meratapi apa yang telah terjadi. Tetapi kita tidak boleh terjebak ke dalam jurang yang sama. Orang yang masuk ke dalam lubang yang sama itu lebih bodoh daripada keledai. Tentu kita tidak mau. Salah satu potensi yang kita miliki adalah bonus demografi.
Demografi adalah faktor endogen yang harus kita benahi secara sungguh-sungguh. Apalagi kita sedang menikmati bonus demografi yang akan memuncak di tahun 2045. Kesempatan emas itu harus disiapkan sejak sekarang.
Untuk menjawab semua itu perlu dibuatkan grand design demografi yang menjabarkan program-program untuk usia di bawah 15, usia 16-19, usia 20 – 25 dan di atas 25. Semua itu disiapkan untuk mengisi pembangunan Indonesia jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek yang saling berkaitan. Sehingga Indonesia Emas tahun 2045 dan seterusnya benar-benar mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang dituangkan dalam Mukadimah UUD 1945.
Melihat perkembangan dunia yang dicirikan dengan kekuatan bioteknologi dan info-teknologi, maka intinya manusia Indonesia harus kuat dengan karakter soft skill dan kompetensi hard skill. Biologi mengindikasikan karakter dan info-teknologi mengindikasikan kompetensi hard skill.
Karakter itu masuk ke dalam komponen endogen ekonomi yakni manusia pekerja keras, mampu berkolaborasi, jujur, inovatif, dan saling percaya. Faktor inilah yang menjadikan ekonomi Tiongkok maju pesat. Dalam teori kompetensi, faktor ‘soft skill’ ini mengisi sekitar 80% kesuksesan. Pendidikan karakter ini menjadi fondasi pembangunan jangka panjang. Dengan demikian institusi pendidikan dari PAUD sampai PT harus tetap menguasai dan mensuasanakan komponen soft skill ini dalam intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Komponen hard skill tentu sangat diperlukan untuk menjawab teknikalitas pembangunan sesuai dengan zamannya. Hal ini masuk ke wilayah jangka menengah dan pendek. Sehingga kemampuan belajar dan daya adopsi manusia Indonesia harus tinggi. Mereka harus bisa berselancar dalam keadaan VUCA (volatile, uncertainty, complexity, ambiguity).
Untuk mengisi komponen keterampilan ini PT harus menyiapkan program kurikulum yang bisa menjawab kebutuhan jangka pendek dan menengah. Mereka harus berkemampuan analisis, kreatif, kritis, selain menguasai persoalan big data, menulis, dan berkomunikasi dengan baik setidaknya dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Semua ini menjadi syarat wajib.
Selain faktor manusia dan kelembagaan, SDA adalah unsur endogen yang kaya Indonesia. Misalnya, kopi, hampir seluruh daratan Indonesia bisa ditanami kopi. Dan saat ini kopi termasuk komoditas ekonomi kesenangan (leisure economy) dunia. Dengan kekuatan teknologi hulu-hilir dan pemasaran, kita bisa jadi pusat peradaban kopi. Juga komoditas lainnya, seperti coklat, sawit, teh, karet, serta rempah-rempahan. Selain potensi daratan, Indonesia memiliki kekayaan laut yang luar biasa.
Potensi SDA daratan dan laut dengan penataan SDM, aset fisik/infrastruktur, kelembagaan pemerintah dan swasta, serta universitas/lembaga riset adalah komponen dalam model ekonomi endogen. Semua itu sudah dimiliki Indonesia. Tidak mustahil kita jadi negara maju. Untuk itu, kita harus punya paradigma politik untuk kesejahteraan, bukan politik untuk kekuasaan.
***
pic: Docsity