KOMUNITAS KAUM MUDA HARUS DISENTUH

Indragara

Sedikit terperangah membaca hasil Ipsos MORI, dipublikasikan portal independent. Melalui teknik wawancara terhadap 27,250 responden, rentang usia 16 sampai 64 tahun, di 40 negara, disimpulkan ketidakpedulian atau sikap masa bodoh warga Indonesia terhadap negaranya cukup tinggi yakni, diurutan ke 10 dari 40 Negara.

Memang informasi melemahnya rasa kebangsaan itu bukan sesuatu yang baru, seperti misal, hasil kajian Lemhannas pada pertengahan tahun 2006 lalu, yang menyimpulkan bahwa telah terjadi degradasi nasionalisme pada kebanyakan masyarakat kita, bangsa Indonesia. Keprihatinan atas melemahnya nasionalisme sampai memunculkan humor menyesakkan; rasa kebangsaan itu baru terlihat saat ada perhelatan sepak bola di istora senayan. Sudah sedemikian parahkah?

Kalau melihat apa yang tampak berkembang saat ini, mungkin ada benarnya. Jejak anomali perilaku kebangsaan tampak jelas dari maraknya pemikiran-pemikiran dan tindakan yang mengarah pada upaya penipisan semangat persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI. Malahan, selang beberapa waktu terakhir yang kita lihat dan rasakan bukan lagi sebatas degradasi nasionalisme, melainkan sudah jauh lebih merisaukan, yaitu munculnya gejala degradasi nilai. Hujat menghujat, merendahkan derajat kemanusiaan, dan tindakkan tidak terpuji lain menebar seakan tidak lagi ada rambu pengendali kebebasan. Pelemahan terhadap nilai dan norma berada diambang titik terendah, baik itu menyangkut nilai dan norma keagamaan maupun sosial budaya. Etika, kesopanan, kesantunan, dan lain sebagainya samar terlihat, menjadi hiasan kata dan berbanding terbalik dalam kenyataanya.

Tampaknya, ada benarnya juga pendapat yang disampaikan Prof. Komaruddin Hidayat, dimana menurutnya karakter bangsa Indonesia seolah berubah, terperosok dalam ketidakjelasan; di satu sisi ingin menggapai menjadi bagian dari masyarakat global namun tidak kesampaian dalam menggapai globalitasnya, sementara di sisi lain pijakannya pun sudah terlepas dari nilai dan norma lokalitasnya. Yang dikhawatirkan adalah jika kondisi dan suasana kebangsaan tidak kondusif tersebut dibiarkan, dapat dipastikan secara perlahan akan menggerogoti ketahanan jiwani kaum muda dan mereka menjadi korbannya. Tentu ini tidak boleh terjadi.

Sebenarnyalah potensi kaum muda Indonesia dapat dikatakan luar biasa; bukan saja dilihat dari segi jumlah melainkan juga daya kreatif dan inovatifnya pun dapat dibanggakan. Terbilang catatan prestasi mendunia dan temuan-temuan solusional yang telah diukir dan diakui dunia. Bahkan, tidak sedikit pula yang kemudian dipinang oleh Negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Vietnam. Hanya agak disayangkan dengungan kelompok kaum muda dengan tingkat kreatifitas dan inovasi tinggi serta memiliki integritas tersebut cenderung tertutupi oleh hingar bingar berita kekinian yang penuh nuansa kontraproduktif, disamping minim sentuhan perhatian dari banyak pihak.

Jelang akhir November 2014, pada diskusi kecil yang menyertakan kaum muda berprestasi dibidangnya, ada yang berprofesi sebagai sineas muda, penulis, penggiat sosial, dan sebagainya, terungkap kegelisahan dan keresahan menyergap pada benak dan pikiran mereka tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Di satu sisi ada keinginan dan dorongan kuat untuk berbuat sesuatu yang konstruktif bagai bangsa dan Negara, namun di sisi lain mereka berhadapan dengan kenyataan di mana ruang apresiasi yang diterima sangat jauh dari harapan. Sehingga keberadaan mereka seperti termarjinalkan oleh keadaan. Kenyataan tersebut, pada akhirnya mendorong mereka untuk bergerak sendiri; dengan caranya sendiri menelusuri dan menembus katup sekat perhatian guna menunjukkan eksistensinya.

Menyikapi gejala anomali kebangsaan, terutama di kalangan kaum muda, dari diskusi tersebut tampak keprihatinan juga dirasakan mereka. Kalau kebanyakan kaum muda terkesan seperti acuh dan kurang peduli, bukan berarti dapat diterjemahkan mereka sama sekali tidak memiliki rasa kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air. Hanya cara mereka mengaktualisasikan kepeduliannya melalui kegiatan nyata sesuai ruang yang dimilikinya.

Kaum muda seperti mereka itu, berpendidikan, kreatif, dan memiliki kepedulian tersebar dibanyak komunitas pemuda. Beberapa contoh, Gandengtangan, kelompok kaum muda yang mengorganisir diri untuk menghimpun dana filantropi, memanfaatkan crowdfundingguna membantu wirausaha muda di desa-desa. Atau, CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development), yang bergerak menghimpun dan memberi kesempatan (volunteer) para medis dan dokter-dokter muda untuk dilatih dan ditempatkan selama 1 (satu) tahun di desa-desa guna membantu meningkatkan kualitas puskesmas.

Tentu semakin banyak ruang diberikan kepada kaum muda melalui komunitas-komunitas sesuai kepemintaan sangat diperlukan agar potensi inner dynamicsdapat berkembang dan menemukan bentuk yang selaras dengan kebutuhan Indonesia masa depan. Potensi destruktif (degradasi nasionalisme dan nilai/moral) pun dengan sendirinya akan dapat diminimalisir.

Dalam konteks ini, KPBD mempunyai potensi menunjang. yang tersebar di seluruh Provinsi, Kota dan Kabupaten melebarkan dan memperkuat jaringan dengan komunitas-komunitas pemuda yang sudah terbentuk. Dan atau malah diharapkan mampu membentuk komunitas-komunitas pemuda dalam ragam aktifitas yang lepas dari atribut organisasi namun tetap menjadi bagian dari simpul-simpul yang berhubungan langsung ke akar rumput. Dengan terbentuknya komunitas-komunitas tersebut, selain wujud nyata pembinaan organisasi terhadap kaum muda juga dapat dimanfaatkan sebagai media komunikasi KPBD dengan akar rumputnya.

Yang jelas, kaum muda enerjik, kreatif, dan inovatif serta memiliki integritas perlu disentuh. Seperti sering diingatkan Sarwono Kusumaatmadja bahwa mutu bangsa ditentukan oleh kaum muda. Logikanya, kalau kaum mudanya jauh dari berkualitas lalu bagaimana Indonesia akan kokoh dan kuat? Jika masyarakatnya sudah tidak peduli dengan Negaranya, lalu bagaimana kita bisa menghadapi masa depan?

Salam.

you may also like