NURANI DAN KELEMBUTAN MEMBENTUK KARAKTER POSITIF
ybb.or.id, Depok— ‘…system atau pola pendidikan di Indonesia cenderung lebih mengedepankan sisi pendekatan akademik dibanding kepekaan asa. Sehingga proses pendidikan yang bersentuhan dengan nilai dan norma, bisa dikatakan, tidak terserap, mengendap (internalized) dan menjadi bagian dari karakter anak. Itu sebab kalau kita perhatikan kebanyakan dari anak didik memiliki kecenderungan suka kekerasan dan pengaruh emosi negatifnya tinggi…’ ulas Ratna Megawangi, Pimpinan Sekolah Karater, Indonesia Heritage Foundation (IHF), dalam bagian paparan saat menerima Pengurus Yayasan Bhakti Bangsa (YBB), di Kantor IHF, Jum’at, (01/03/19).
Lebih lanjut Megawangi mengurai pola pendidikan berbasis karakter yang menjadi ciri khas dan unggulan lembaga pendidikannya. Menurutnya, kebanyakan anak Indonesia rentan dari sisi emosinya. ‘…berdasarkan survey di 10 propinsi yang dilakukan kelompok save the children, 93% anak-anak pernah mengalami tindak kekerasan baik di rumah maupun di sekolah…’ ujarnya. Dan, survey FEKMI, 2003, mayoritas remaja (82%) beranggapan bahwa orang tua mereka otoriter; 50% mengaku pernah mendapat hukuman fisik; dan, 39% mengatakan orang tuanya pemarah.
‘…saya tidak bisa membayangkan betapa besar kerugian yang harus ditanggung bangsa kita (baca: Indonesia) di era bonus demografi, jelang 2045, bila generasi yang secara jiwani sedang tumbuh dan memerlukan koneksitas emosi positif malah dibesarkan dalam aura emosi negatif…’ katanya.
Enerji atau emosi positif dengan sendirinya akan menumbuhkan sikap gembira, damai, penuh cinta kasih, empati, optimis, dan suka mencari kebenaran. ‘…sebaliknya, emosi negatif karena cortisol dan adrenalinnya tinggi maka secara perlahan justru menjadi racun yang membunuh sel-sel otak memori. Akibatnya, perilaku mereka cenderung menampilkan sikap bohong, marah, antipasti, pesimis, konflik, benci, dan lain sebagainya…’
Karena itu, menurut Megawangi, pola pendidikan baik di sekolah maupun di rumah semestinya senantiasa mengedepankan kasih sayang, kelembutan, dan yang terpenting mengutamakan sentuhan nurani atau qolbu. ‘…yakini melalui pengutamaan pendekatan humanistik itu dibanding akademik, pemanfaatan jendela peluang era bonus demografi akan tercapai, sebab ditompang oleh kaum muda usia produktif yang memiliki karakter kuat, penuh enerji positif…’. Selain itu, anak-anak yang tumbuh kembang dalam aura emosi positif maka sikapnya akan lebih bijak, suka tabyyun, kuat daya nalar dan analisanya sehingga tidak mudah terprovokasi dan lebih sabar. Akan berbeda hasilnya bila kebalikannya.
Menanggapi uraian Megawangi, Ketua Umum YBB, Fasli Jalal, menyampaikan bahwa persoalan karakter sebenarnya menjadi keprihatinannya. ‘…penguatan karakter dan kompetensi SDM Indonesia merupakan perhatian utama dan hal itu justru yang melandasi dibentuknya YBB sebagaimana tersurat secara tegas pada visi kami (baca: YBB)…’ ungkap Fasli Jalal.
Fasli juga mengutarakan silaturahmi dengan pihak IHF, diantaranya, guna menjajaki kemungkinan dan peluang kerjasama antarkedua Yayasan.
‘…kiprah IHF, dalam menularkan ide-ide kreatif cara dan pola mendidik, terutama untuk tingkat PAUD dan pendidikan dasar sudah sangat kita ketahui bersama keunggulannya…karena itu YBB berkeinginan untuk menggandeng mitra strategis yang memiliki kesamaan visi untuk secara bersama-sama memperkuat karakter kaum muda produktif, generasi milenial. Dan, salah satunya yaa IHF…’ ujarnya.
Setelah pertemuan ini, menurut Fasli, akan ditindaklanjuti lebih lanjut pada pertemuan teknis. ‘…tadi sudah ada kesepakatan antara kami untuk membangun kerjasama dan memperkuat jaringan guna mendukung terbentuknya karakter anak bangsa yang mampu menaklukan masa depan…’ pungkasnya.
sb: esispr//