OPIK, PENDIRI KOMUNITAS NGEJAH DI GARUT

“Tahun 2010, Garut menjadi satu dari dua daerah tertinggal di Jawa Barat. Sebagai anak muda, saat itu, saya berpikir, harus lakukan sesuatu. Karena tak bisa membantu membangun fisik, saya membangun pemikiran masyarakat,” ucap seorang pemuda di suatu desa terpencil tentang hasratnya untuk membangun intelektual masyarakat Kabupaten Garut.

Opik, begitu nama pemuda tersebut. Siang itu, Jumat 3 Februari 2017, kami menemui Opik di rumahnya yang dipenuhi buku. Ada 16.000 buku tersusun rapi di rak yang menempel ke dinding rumah, mulai dari buku cerita Donal Bebek, novel sastra, hingga ensiklopedia.

Lewat buku, pria 33 tahun itu ingin membangun intelektualitas masyarakat Kabupaten Garut yang ia mulai dari masyarakat desanya. Desa Sukawangi, Kecamatan Singajaya –tempat tinggal Opik—terleta 60 kilometer dari pusat kota Kabupaten Garut. Letaknya yang jauh dari perkotaan, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, membuat akses masyarakat Desa Sukawangi terhadap buku sangat sulit.

”Kalau mau baca buku harus ke perpustakaan daerah di perkotaan Garut, ongkosnya Rp 30.000,” ujar Opik.

Tergerak ingin mengatasi masalah itu, pada warsa 2010, Opik membuka taman bacaan masyarakat di rumahnya. Masyarakat bisa membaca dan meminjam buku kapan saja, tanpa membayar sepeser pun. Pada awalnya, buku-buku yang ada di taman bacaan merupakan buku koleksi Opik kala kuliah. Semakin lama, buku-buku itu pun bertambah dari berbagai pihak yang peduli terhadap kebiasaan membaca.

Dengan adanya taman bacaan, masyarakat menjadi dekat dengan buku. Suasana di Desa Sukawangi pun kental dengan kebiasaan membaca buku. Siang itu, empat anak asyik membaca buku di saung yang dibangun Opik di halaman rumahnya. Beberapa anak lain memilih meminjam buku dari taman bacaan hatta dibaca di rumah. Kini, taman bacaan itu sudah memiliki 2.000 anggota. Tak hanya anak-anak, pemuda dan orangtua pun kerap membaca buku dari taman bacaan.

Melihat perkembangan taman bacaannya, Opik berharap, buku-bukunya dapat membangun intelektualitas masyarakat desa karena buku merupakan gudang ilmu. Anak-anak pun berani mempunyai cita-cita setinggi langit.

Menebar minat baca

Kepedulian Opik tak sebatas untuk warga desanya. Ia ingin minat baca yang telah terbangun di desanya menular ke desa lain, bahkan kecamatan lain di Kabupaten Garut. Oleh karena itu, ia—bersama anggota Komunitas Ngéjah yang dibentuknya—menyusuri desa-desa di Kabupaten Garut, bahkan Kabupaten Tasikmalaya, untuk mengajak anak-anak membaca. Kegiatan tersebut disebut Opik sebagai ”Gerakan Kampung Membaca”.

Sore hari, setelah berbincang di rumahnya, Opik mengajak kami ke Desa Mekartani, masih di Kecamatan Singajaya. Di desa itu, Opik bersama para sukarelawan Komunitas Ngéjah bakal membaca bersama anak-anak desa. Sebanyak 150 buku dibawa Opik di tas ransel besarnya sebagai bekal kegiatan membaca.

Medan jalan menuju Desa Mekartani cukup menantang karena kondisi jalan berbatu alias tidak beraspal. Kontur jalan pun naik turun sehingga menambah perjuangan kami menuju Desa Mekartani.

”Jalan ini belum seberapa. Kami pernah menempuh jalan yang rusak total sehingga motor harus didorong. Lokasi desanya juga jauh sekali,” ucap Hamdan Taufik Fikri, sukarelawan Komunitas Ngéjah tentang pengalamannya mengikuti kegiatan ”Gerakan Kampung Membaca”.

Tiba di Desa Mekartani, sekitar 50 anak sudah menunggu di sebuah sekolah agama. Kegiatan dimulai oleh Opik dengan mendongeng tentang Situ Bagendit. Arkian, para sukarelawan mengadakan berbagai permainan bersama anak-anak. ”Kegiatan membaca harus menyenangkan, makanya dimulai dengan dongeng dan permainan. Kalau terlalu kaku, anak-anak enggak mau baca,” ujar Opik.

Kegiatan membaca baru dilakukan pada sesi terakhir. Anak-anak dengan bukunya masing-masing membaca dengan suara keras. Di sekolah agama itu, Opik menunjukkan sebuah rak yang dipenuhi oleh buku anak-anak.

Pria peraih Anugrah Peduli Pendidikan 2015 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sengaja menaruh buku beserta rak di lokasi yang pernah ia sambangi. Tujuannya, agar kebiasaan membaca anak-anak di desa tetap terjaga setelah kegiatan membaca bersama usai. Setakat kini, sudah ada 26 pojok baca tersebar di sejumlah desa.

Sementara untuk kegiatan Gerakan Kampung Membaca sudah dilaksanakan sebanyak 64 kali. Opik beserta sukarelawan Komunitas Ngéjah telah menularkan minat membaca ke kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Garut, seperti Cibalong dan Cisompet, yang berdekatan dengan pantai selatan Kabupaten Garut. Di Kabupaten Tasikmalaya, Gerakan Kampung Membaca pernah dilaksanakan di Kecamatan Bojonggambir.

Upaya Opik menumbuhkan minat baca pada anak-anak mulai memperlihatkan hasil, paling tidak pada anak-anaknya di desanya. Salah satu anak Desa Sukawangi, Sifa Siti Rahmawati (12) berhasil menjadi juara III mendongeng tingkat nasional berkat kegemarannya membaca buku.

Sifa mengatakan, dalam semalam, ia biasa membaca 5-10 buku tipis. Sementara pada pagi hingga sore, ia membaca sepuluh buku setiap hari. Sejak ada taman bacaan di desanya, membaca menjadi hobi Sifa. ”Biar tahu, makanya baca buku. Sekarang, dari rumah juga dekat dengan tempat baca,” ucap Sifa tentang alasannya suka membaca buku.

Semangat
Opik tak hanya telah menumbuhkan minat baca pada masyarakat desa. Sikapnya juga telah mengobarkan semangat para sukarelawan untuk membangun intelektual masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.

Hamdan Taufik Fikri kini mulai merintis perpustakaan pertanian di tempat tinggalnya, Desa Puspahiyang, Kecamatan Puspahiyang, Kabupaten Tasikmalaya. Pembangunan perpustakaan itu dilakukan bekerja sama dengan aparat desa.

Sebanyak 123 buku bisa dimanfaatkan oleh para petani dan siswa SMK Pertanian yang ada di Desa Puspahiyang, daerah pemilik potensi manggis yang baik dan telah diekspor. Keberadaan buku-buku diharapkan melengkapi pengetahuan para petani tentang cara mengelola tanaman manggis.

”Buku-buku pertanian masih kurang. Para petani otodidak, langsung praktik. Kalau langsung praktik tanpa ilmu, risiko terlalu besar,” kata Hamdan.

Selain membangun perpustakaan pertanian, bersama aparat desa, Hamdan pun membuka lahan garapan seluas 1 hektare. Lahan tersebut dikelolanya bersama para petani. Mereka menanam manggis dan sayuran.

Semangat untuk membangun intelektual masyarakat juga menular kepada pada sukarelawan dari Bandung dan Jakarta. Selepas menjadi sukarelawan di Komunitas Ngéjah, mereka kini membangun tempat membaca masyarakat di tempat tinggal masing-masing.

Kini, Opik sedang berpikir untuk mempertahankan nyawa komunitas dan kegiatan yang telah dibentuknya. Hal itu terutama terkait dengan finansial untuk membiayai operasional komunitas. Selama ini, biaya operasional komunitas keluar dari kantong pribadi. Setelah menikah, gajinya sebagai guru SD 2 Cikuya, Kabupaten Tasikmalaya, harus dibagi untuk membiayai keluarga.

”Ingin buka bisnis kreatif untuk menghidupi Komunitas Ngéjah, tapi formulanya belum dapat,” ucap Opik.

Saat ini, pria peraih Anugerah Pelopor Pemberdayaan Masyarakat 2015 tingkat Jawa Barat itu sedang mencoba berbisnis baju bertuliskan ”Komunitas Ngéjah”. Bisnis baju tersebut diharapkan bisa menyambung nafas Komunitas Ngéjah selama mungkin.***

Sumber: Pikiran Rakyat

you may also like