KOMUNITAS MASYARAKAT MEMILIKI PERAN STRATEGIS ATASI ERA BONUS DEMOGRAFI
Indonesia di tahun 2019, berdasarkan survei penduduk antarsensus (Supas) 2015 jumlah penduduknya telah mencapai 266,91 Juta Jiwa, dimana 68,7% adalah penduduk dengan rentang umur antara 15 hingga 64 tahun atau rentang usia produktif. Dari sisi pendekatan kependudukan maka kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tengah menikmati suatu peristiwa demography dividend. Atau lebih populer dengan istilah bonus demografi.
Bonus demografi sebenarnya bagai dua sisi mata pedang; pada satu sisi akan sangat menguntungkan dalam mendukung percepatan pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat. Dan itu bisa tercapai apabila besaran jumlah usia produktif dimaksud benar-benar memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, sehingga menjadikannya sebagai bonus. Di sisi lain, apabila tingkat produktivitasnya rendah maka yang terjadi malah akan memberatkan beban Negara. Oleh karenanya bila tidak disikapi dengan baik dan benar dapat menimbulkan bencana demografi.
Menurut BPS, Jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibanding Februari 2017; dengan tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 69,20 persen, atau meningkat 0,18 persen poin. Tingginya jumlah angkatan kerja tentu harus diimbangi dengan lapangan kerja yang memadai dan kualitas pekerjaan yang juga layak. Sebab apabila tidak maka kemungkinan tingkat pengangguran semakin tinggi sukar untuk dihindari.
Sampai saat ini masih dipercaya bahwa solusi pemecahan masalah pengangguran tersebut bermuara pada dua cara yaitu, disalurkan melalui dunia industri dan atau pengembangan kewirausahaan.
Dari ragam kegiatan Industri di Indonesia, industri manufaktur yang cukup prospetif dan mengalami kenaikan di akhir tahun 2018, diantaranya, adalah industri minuman, industri percetakan, serta industri jasa reparasi dan pemasangan mesin.
Selain itu, rumpun usaha lain yang berkembang salah satunya ialah sektor pariwisata. BPS mencatat di tahun 2018 kunjungan wisatawan mancanegara meningkat 12,58% dari tahun 2017.
Persoalannya, penyaluran dan serapan tenaga kerja ke dunia industri juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada hambatan dan kendala yang erat kaitannya dengan kompetensi atau keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja itu sendiri; diantaranya, kekurang selarasan antarkompetensi yang dimiliki calon tenaga kerja dengan standar kerja yang diterapkan oleh pihak industri.
Persaingan dalam mengisi lapangan pekerjaan pun kian semakin berat dan ketat. Para pencari kerja tidak hanya akan bersaing dengan tenaga kerja dalam negeri, melainkan juga harus bersaing dengan tenaga kerja luar negeri yang mencoba mengadu nasib di negeri kita, khususnya, para calon pekerja usia produktif dari kawasan Asia Tenggara seiring diberlakukannya perjanjian regional MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Perjanjian regional tersebut telah membuka secara lebar pasar ekonomi di kawasan regional ASEAN.
Tentu harus diakui bila ditinjau dari laporan Index Competitiveness Global Indonesia tahun 2018 berada di peringkat 40, masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara terdekat, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, maka daya saing kita cukup sangat mengkhawatirkan.
Melihat beberapa persoalan yang mungkin akan dihadapi bangsa ke depan, sebagai imbas dari bonus demografi, pertanyaannya kemudian adalah apa yang dapat dan akan dikerjakan oleh kelompok masyarakat guna menjawab tantangan demografi di atas?
Disadari sepenuhnya bahwa spektrum bonus demografi itu sedemikian luas dan lebar; disamping dibutuhkan kewenangan koordinasi kuat, juga sumber pendanaan yang amat besar, yang hanya dapat dilaksanakan oleh Negara, melalui Pemerintah mulai dari Pusat sampai Daerah. Meski demikian bukan berarti, kemudian, peran masyarakat menjadi terhilangkan karenanya. Dalam konteks penanganan bonus demografi, peranan masyarakat terfasilitasi dengan adanya pendekatan quadruple helix yang mulai populer sekitar tahun 2.000an.
Melalui pendekatan ini kelompok masyarakat (LSM) dapat berpartisipasi aktif menangani permasalahan dari bonus demografi, bersama-sama Pemerintah, Dunia Industri, dan Perguruan Tinggi. Pertanyaannya kemudian ialah dari sisi mana kelompok masyarakat itu dapat berpartisipasi bila terkungkung keterbatasan baik dari segi koordinasi maupun pendanaan.
Keterbatasan tidak mesti sama makna dengan ketidakmampuan; justru dengan keterbatasan yang ada, organisasi yang diinisiasi oleh anggota kelompok masyarakat malah memiliki keleluasaan untuk dapat turut serta, bahkan diharapkan menjadi salah satu bagian penting dari penggerak orkestra harmonisasi bonus demografi Indonesia. Misal, melalui program-program kerja yang realistis, sistematis, dan terukur sesuai kapasitas dan kapabilitas organisasi seperti dilakukan oleh sejumlah komunitas yang telah ada.
***
penulis: Suhendra Ridwan, Sekretaris YDSK Kota Bogor.