PENDIDIKAN KARAKTER
Asep Saefuddin

Akhir-akhir ini saya sering mendapat informasi mengenai pendidikan berbagai negara maju melalui media sosial seperti FB, twitter, instagram, atau grup diskusi WA. Misalnya informasi tentang pendidikan dasar Australia yang lebih menekankan karakter “soft-skill” ketimbang ilmu pengetahuan atau “hard-skill”. Sampai-sampai mereka lebih khawatir anak didik tidak bisa “ngantri” daripada tidak bisa matematika. Artinya, pendidikan  dasar di sana lebih memberi penekanan pada perilaku, bukan kepandaian. Inilah yang disebut pendidikan karakter.

Bila diperhatikan, memang banyak manfaat kebiasaan mengantri ini terhadap karakter individu dan masyarakat. Karena masyarakat adalah kumpulan para individu. Masyarakat akan baik dan teratur bila anggotanya baik. Begitu juga sebaliknya, bisa kacau bila pembentuk masyarakat adalah mereka yang cenderung brutal. Secara umum masyarakat yang demikian, selain akan mengganggu ketertiban, juga mahal karena harus menyediakan aparat keamanan yang banyak. Di hampir setiap sudut harus ada satpol PP, polisi, atau satpam. Gawatnya, persoalan kesemrawutan sulit diurai karena para aparat juga produk pendidikan kacau. Kejadian ini terus berulang bagaikan lingkaran setan. Tetapi harus segera diputus.

Salah satu alasan mengapa pendidikan dasar Australia lebih mengutamakan pendidikan karakter daripada ilmu-ilmu dasar dan matematika, karena membangun karakter sulit dan kompleks. Menguasai matematika bisa digembleng dalam kurun waktu tiga bulan, tetapi belajar mengantri perlu 12 tahun. Akan tetapi, bila ditelusuri, memang banyak manfaat dari belajar mengantri.

Mengantri dapat mengajari anak didik untuk mempraktekkan manajemen waktu. Mereka yang tidak mau terlambat tentu harus datang lebih awal. Anak didik juga bisa belajar sabar dalam mengantri. Sabar untuk menunggu giliran. Mereka juga dapat menghargai orang lain yang telah lebih dahulu datang. Belajar untuk tidak mengambil hak-hak orang lain dengan cara menyerobot. Sambil mengantri juga anak didik bisa memanfaatkan waktu tunggu sampai ke tujuan, misalnya dengan membaca atau menulis di smart-phone. Juga bisa sekalian sosialisasi dan silaturahmi dengan orang-orang yang sedang mengantri. Bisa memahami hukum sebab-akibat dalam hal “first come first served”. Juga belajar disiplin, dan tentu banyak karakter lainnya yang bisa dibentuk melalui mengantri. Semua perilaku itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan.

Perilaku Professional

Prof. Sumantri Brodjonegoro (ITB) menemukan bahwa sifat-sifat profesionalitas sarjana kita masih lemah. Walaupun, beliau menemukan bahwa komponen hard-skill lulusan kita tidak kalah dibanding dengan negara tetangga. Akan tetapi bila komponen soft-skill mereka lemah, sulit sarjana kita menjadi pemimpin, termasuk dalam dunia bisnis. Kita hanya bisa mengisi kelas pekerja. Hal ini bermuara pada pendidikan karakter kita sejak pendidikan dasar yang sangat lemah. Kita terlalu meloncat ke komponen sains dan teknologi.

Ketika menghadiri acara pemberian piala pemenang LKS (Lomba Keterampilan Siswa) seluruh SMK DKI Jaya, saya duduk disamping pelatih yang bekerja di industri otomotif. Dari pengalaman dia melatih, para siswa-siswi kita ada kelemahan dalam hal perilaku. Mereka kurang disiplin, tidak menghormati waktu, kurang serius, dan daya juang mencapai yang terbaik juga lemah. Walaupun dari sisi keterampilan keras (hard-skill) diakui siswa-siswi kita pada umumnya sangat membanggakan. Sama dengan hasil penemuan Prof. Sumantri Brodjonegoro bahwa sifat-sifat profesionalitas anak didik kita sangat lemah.

Keadaan ini cukup mencemaskan dimana persaingan dunia akan semakin ketat. Karena kemampuan atau keterampilan keras itu adalah sesuatu yang bisa dilatihkan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Sedangkan kemampuan lunak itu perlu waktu yang relatif lama dan perlu lingkungan kondusif. Soft-skill lebih kompleks daripada hard-skill. Akan tetapi, begitu masyarakat kuat dalam komponen soft-skill, seperti perilaku, profesionalitas, dan persistensi, maka kecenderungannya juga mereka akan mampu menguasai sains dan teknologi. Dus, pendidikan soft-skill sangat penting sebagai landasan kemajuan negara.

Jiwa entrepreneurship, kebiasaan kolaborasi, dan kemandirian adalah bagian dari pendidikan karakter. Kita bisa belajar dari para kreatif bisnis dunia, seperti Mr. Jack Ma, orang terkaya di Tiongkok itu adalah guru bahasa Inggris yang kuat dalam soft-skill. Dengan bekal kemauan, kerja keras, dan persistensi ditambah kemahirannya untuk meyakinkan orang maka dia bisa menguasai dunia bisnis berbasis teknologi informasi. Padahal awalnya dia awam bidang ini. Banyak lagi contoh pebisnis sukses karena kekuatannya dalam karakter kepribadiaannya, tidak kenal lelah, dan selalu siap membantu orang lain. Cenderung tanpa pamrih. Orang-orang seperti inilah yang harus dibangun dalam pendidikan Indonesia. Tanpa itu semua, sulit Indonesia memimpin ASEAN, apalagi dunia.

Dalam Ujian Nasional mulai tahun ini sangat ditekankan kejujuran, bukan sekedar pencapaian nilai tinggi. Ini suatu upaya yang patut dihargai. Akan tetapi kejujuran, kedisiplinan, kemauan untuk antri dan saling menghormati itu harus menjadi kebiasaan sehari-hari dunia pendidikan. Bukan saat satu titik saja. Itulah yang harus diperjuangkan oleh para guru dan dosen. Bukan sekedar mengejar akreditasi di atas kertas. Insya Allah.

you may also like