DI GUGU DAN DI TIRU SUDAH KADALUARSA
Asep Saefuddin *)
Tanggal 25 November adalah guru. Guru pada hakekatnya adalah menerangi ruang gelap. Dalam bahasa Sansakerta “gu” artinya “ruang gelap” adapun “ru” adalah cahaya atau penerangan. Untuk itu seorang guru harus memahami secara mendasar arti guru itu secara esensi. Bila seorang guru malah membuat bingung, pusing, stress, dan depresi murid-murid, berarti dia tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai lampu/cahaya.
Sejak sekitar pertengahan Maret 2020 proses pembelajaran mengalami perubahan secara signifikan. Akibat wabah covid19, dimana penularannya melalui kerumunan, maka proses pembelajaran tatap muka harus dihentikan. Akan tetapi pada saat yang sama pendidikan tidak boleh berhenti. Alternatifnya adalah pola pembelajaran lewat teknologi informasi atau yang disebut e-learning untuk melakukan PJJ (Pendidikan Jarak Jauh).
Sebelum ada wabah covid19, Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan juga beberapa universitas atau bahkan sekolah menengah sudah menggunakan e-learning. Akan tetapi saat itu masih merupakan campuran antara online(daring) dan offline (luring) yang disebut “blended/hybrid learning“, tidak PJJ penuh. Sehingga mahasiswa atau siswa masih bisa berinteraksi tatap muka untuk beberapa mata kuliah/ajaran. Selain kegiatan ekstra-universiter yang dilakukan secara riel, bukan virtual. Ditambah lagi kegiatan kehidupan kampus/sekolah yang umumnya dilakukan secara luring. Hal ini membuat para peserta didik (mahasiswa/siswa) termasuk dosen/guru bisa berinteraksi secara nyata.
Keadaan kampus atau sekolah sebelum ada wabah pandemi, walaupun ada sebagian kelas daring (online), tidak membuat civitas akademika menjadi jenuh. Mereka bisa datang ke kampus/sekolah walaupun tidak ada kelas. Mereka bisa ngobrol sambil makan dan minum di kantin. Istilahnya mereka sering “kopdar” yang bisa membuat stamina mereka menuntut ilmu itu tidak jenuh.
Kehidupan kampus/sekolah dengan berbagai dinamikanya secara nyata, saat ini tidak bisa lagi dilakukan. Mengapa? Karena ada virus yang akan leluasa menyerang bila ada kerumunan. Di sinilah diperlukan peranan para guru/dosen untuk berkreasi agar pembelajaran tetap berjalan tetapi tidak membosankan. Apalagi membuat peserta didik tertekan.
Akhir-akhir ini saya sering membaca berita ada siswa siswi yang stres dan depresi akibat PJJ, bahkan ada diantara mereka yang bunuh diri. Dalam hal ini, kita tidak perlu melihat banyak atau sedikitnya jumlah peserta didik yang stress. Satu orang pun, bila kejadian menyedihkan itu akibat pola pembelajaran PJJ yang “overdosis”, kita harus mengkaji agar tidak ada korban lagi.
Pengertian guru berupa “digugu dan ditiru” saat ini tidak berlaku. Atau bila ingin benar-benar “digugu/ditaati dan ditiru” maka guru harus benar-benar jadi manusia super, model yang ideal. Bila hal itu belum bisa dicapai, tetapi guru merasa harus selalu “digugu dan ditiru”, ini akan berefek negatif terhadap peserta didik. Bayangkan bila semua guru memberikan PR (Pekerjaan Rumah) setiap pertemuan dan dalam satu hari ada 5 guru, berarti setiap hari ada 5 PR per hari. Dalam satu minggu akan ada 25-30 PR yang harus dikerjakan murid. Untuk setiap guru memberi tugas PR satu kali setiap minggu pun, masih terlalu banyak.
Memang PJJ berbasis teknologi informasi ini pemberian tugas sangat mudah dilakukan. Akan tetapi, bila terlalu banyak, bisa kontra produktif bagi peserta didik. Untuk itu para guru dan juga dosen harus saling berbagi pengalaman dan informasi. Termasuk informasi pemberian tugas. Jangan secara “ceteris paribus” para guru/dosen seolah-olah hanya dia sendiri yang mengajar.
Murid perlu berkreasi, kreatif, dan juga rekreatif sehingga pendidikan ini menyenangkan bukan menegangkan. Pola pendidikan daring pun jangan sekedar merubah dari ruang kelas ke ruang virtual. Tetapi, harus dipelajari bagaimana agar PJJ ini tetap menyenangkan.
Pengetahuan dan pengalaman guru/dosen dalam penggunaan teknologi e-learning tentu beragam. Untuk itu para dosen/guru harus saling berbagi, baik teknis teknologinya maupun penyampaiannya. Termasuk harus ada riset maksimum tatap muka virtualnya. Di UAI, pertemuan tatap muka virtual (zoom, google meet, dll) itu dibatasi maksimum 7 kali per mata kuliah. Adapun sisanya dapat berupa tugas lain tanpa harus tatap muka, misalnya membuat essay, video, dan tugas digital lainnya. Itupun harus dikomunikasikan antar dosen dalam satu prodi, sehingga tidak bertubi-tubi. Hal ini juga untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh peserta didik. Usahakan agar tugas-tugas dan kuliah tatap muka tidak melebihi subsidi pemerintah sebesar 50 GB.
Intinya, para guru dan dosen harus melakukan evaluasi total dalam PJJ yang sulit dihindari ini, agar tidak menjadi faktor penyebab stress dan depresi peserta didik. Di Hari Guru 25 November ini, para guru dan dosen harus bertanya “sudahkah saya menempatkan diri sebagai lampu dalam ruang gelap?”
*) Penulis merupakan Rektor Universitas Al Azhar Indonesia/Guru Besar IPB