PEREMPUAN DAN BUTA AKSARA
Beberapa bulan lalu ibu saya bercerita telah memperkerjakan seorang asisten rumah tangga yang usianya sekitar 20 tahunan, berasal dari purwakarta yang notabene tidak jauh dari jangkauan ibukota. Sungguh terkejut saya ketika ibu bercerita bahwa asisten rumah tangganya tersebut buta aksara. yang membuat prihatin ketika ia mencoba mengikuti menggunakan tehnologi komunikasi dengan membeli handphone dapat dibayangkan bagaimana kesulitannya Ia menggunakan alat tersebut, apalagi ketika ia berusaha belajar sms dan mengirimkan, maka terkirimlah huruf-huruf yang tidak berbentuk kata apalagi sebuah kalimat.
Miris!! Ia hidup dan bertumbuh kembang ketika era reformasi, ketika awal digaungkan permasalahan, pengalaman, aspirasi dan kebutuhan perempuan di luar persoalan ranah domestik, Isu-isu kritis keadilan, kesetimpangan gender, pendidikan dan feminisme ketika itu semua isue mampu terangkat ke permukaan. Dan ternyata ada hal yang terlewatkan pada era reformasi, efuria kebebasan berpendapat tidak dibarengi fakta yang terjadi dilapangan, Ternyata masih banyak perempuan Indonesia yang buta aksara di zaman ini.
Sebanyak 3,4 juta jiwa atau sekitar 2,07% penduduk Indonesia masih buta aksara. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, penduduk yang tak mengenal huruf itu sebagian besar tersebar di 11 provinsi dengan rentang usia 15-59 tahun. Jawa Barat menjadi satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang angka buta aksara penduduknya di bawah rata-rata angka nasional 1%.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis, 11 provinsi dengan angka buta aksara tertinggi yaitu Papua (28,75%), NTB (7,91%), NTT (5,15%), Sulawesi Barat (4,58%), Kalimantan Barat (4,50%), Sulawesi Selatan (4,49%), Bali (3,57%), Jawa Timur (3,47%), Kalimantan Utara (2,90%), Sulawesi Tenggara (2,74%), dan Jawa Tengah (2,20%). Angka buta aksara di 23 provinsi lainnya diklaim di bawah angka nasional.
Persoalan akan berdampak pada aspek lain. Terutama pada kecerdasan dan life skill. Perempuan yang buta aksara cenderung mudah mengalami tindakan diskriminatif. Misalkan perdagangan perempuan, atau jika menjadi tenaga kerja pun kurang cakap dan mudah dimanipulasi. Beda halnya jika perempuan tersebut mampu membaca dan memiliki wawasan yang luas. Di mana pun dia berada akan jauh lebih aman dari tindakan diskriminatif.
Pendidikan pada perempuan merupakan syarat utama pembangunan kapabilitas manusia, melalui pendidikan khususnya pendidikan formal kesetaraan gender dapat dicapai seorang perempuan. karena semakin berpotensi mendapatkan akses untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Bagi perempuan pendidikan mempunyai dampak yang sangat positif selain bagi dirinya sendiri juga bagi keluarganya dan anak-anak yang dilahirkannya.
editor: Indragara