OPTIMALISASI POTENSI PETANI MILLENNIA
BAGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL DI ERA BONUS DEMOGRAFI
Penduduk merupakan modal penting dalam pembangunan nasional, apalagi bila jumlah penduduk yang besar disertai dengan kualitas yang memadai. Pada tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai 269,6 juta, dengan jumlah penduduk usia produktif (usia 15 hingga 64) sebanyak 179,1 juta atau sekitar 66,4 persen (Bappenas, BPS dan UNFPA, 2018). Diantara penduduk usia produktif tersebut, menurut Indonesia Millenial Report 2020, terdapat sekitar 63,5 juta penduduk millenial (usia 21-36). Sementara itu, menurut definisi yang lebih luas, BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (2018) mengkategorikan penduduk millenial adalah penduduk yang dilahirkan antara tahun 1980 sampai 2000, atau mereka yang berusia antara 20-40 tahun, jumlahnya telah mencapai sekitar 85,66 juta jiwa pada tahun 2020.
Relatif besarnya proporsi generasi millenial tersebut diharapkan akan berperan besar pada era bonus demografi. Pada era ini, terdapat peluang meningkatnya pertumbuhan ekonomi akibat besarnya penduduk usia produktif yang lebih besar dibanding penduduk usia non produktif atau pada saat rasio ketergantungan telah mencapai di bawah 50. Pada kurun waktu tahun 2020-2024 rasio ketergantungan di Indonesia telah mencapai titik terendah, yaitu 45.6 – 45.5. Setelah tahun 2025 secara perlahan hingga tahun 2038 rasio ketergantungan akan terus meningkat kembali sampai diatas 50.
Adanya peluang meraih momentum bonus demografi tersebut tentunya memerlukan beberapa prasyarat diantaranya adalah penduduk usia produktif yang berkualitas dan tersedianya lapangan kerja yang layak dan produktif. Potensi besarnya penduduk usia produktif apabila tidak disertai prasayarat tersebut, maka dikhawatirkan akan memicu bencana kependudukan atau lebih dikenal dengan malapetaka demografi.
Di periode tersebut pemerintah sudah mencanangkan kebijakan membangun sumber daya manusia unggul untuk memanfaatkan peluang Bonus Demografi dan menjadi bonus lompatan kemajuan yang sekaligus menyongsong Indonesia Emas pada tahun 2045. Namun dengan mewabahnya (pandemic) virus corona, Covid-19, di awal bulan Maret 2020 sedikit banyak menumbuhkan kekhawatiran akan bayang-bayang kegagalan pencapaian pemanfaatan jendela peluang Bonus Demografi.
Bayang ancaman kegagalan sebagai akibat Covid 19 tampak jelas nyata dan terukur, seperti, pertama, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dibanding tahun 2019 lalu. Skenario Pemerintah menetapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 2,5 %. Sementara sebagai pembanding, ADB memproyeksikan sekitar 2,5 %, EIU (1 %), Bank Dunia (2.1 %), dan IMF (0,5 %).
Kedua, angka pengangguran diperkirakan naik cukup tajam dengan rentang 2,92 sampai 5,23 juta orang pengangguran baru. Sehingga diperkirakan terjadi lonjakan dari sekitar 7 juta menjadi sekitar 9 juta-an pengangguran. Hal ini diantaranya, hampir semua sektor usaha sulit menghindar badai Convid19 yang ternyata menghentikan banyak kegiatan dan pergerakan ekonomi masyarakat. Menurut CORE (Center of Reforms on Economic), memprediksi jika Covid19 berlanjut hingga kwartal II tahun 2020, TPT yang pada bulan Februari 2020 mencapai 4,99 % akan naik menjadi 8,2 % sampai 11,5 %, atau setara kenaikan sekitar antara 4,25 juta hingga 9,35 juta.
Ketiga, akibat lanjut dari resistensi tinggi ketahanan ekonomi berpengaruh pula terhadap penurunan kualitas hidupyang ditandai, antara lain, melalui peningkatan jumlah penduduk miskin yakni, sekitar 1,16 sampai 3,78 juta orang miskin baru.
Kita (baca: bangsa Indonesia) tentu tidak ingin terjebak keterpurukan berkelanjutan; harus ada daya upaya masyarakat untuk berperan aktif bersama Pemerintah perlu segera keluar dari tekanan Covid19 serta meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki prospek cerah adalah di sektor pertanian.
Berdasarkan data BPS (2019), sektor pertanian masih mendominasi mata pencaharian masyarakat yaitu sebesar 33,4 juta (27,33%) dibandingkan sektor perdagangan (18,81%), dan Industri pengolahan (14,96%). Namun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia masih lebih rendah di banding sektor industri (19,62% ) dan pertanian hanya sebesar (13,45 %) dan sektor jasa (13,0 %).
Di samping itu, dilihat dari sisi produksi, Indonesia termasuk dalam 5 (lima) besar produsen dan eksportir hasil pertanian (dalam hal ini: beras) namun ironinya Indonesia juga termasuk yang terbesar dalam impor beras. Setiap tahun Indonesia mendatangkan beras dari beberapa negara seperti Vietnam dan Thailand guna memenuhi kebutuhan domestik. Data BPS tahun 2019 memperlihatkan impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari 16,599.9 ton (2017) menjadi 767.180,9 ton. Sedang dari Thailand, tahun 2017 sebanyak 108.944,8 ton menjadi 795.600,1 ton. Apa yang menjadi faktor penyebabnya ?
Beberapa jawaban argumentatif dikemukakan banyak pihak. Ada yang melihat dari sisi ketidakseimbangan antara hasil produksi dengan konsumsi beras sebagai makan pokok masyarakat, misal, jumlah konsumsi beras per kapita hampir 150 Kg beras (per orang, per tahun). Konsumsi beras yang besar tidak sebanding dengan produksi beras dalam negeri; mengingat 90 % produksi dikontribusi oleh petani kecil yang rata-rata kepemilikan lahannya kurang 0,8 hektar.
Pengalihan fungsi lahan pun tidak luput dari perhatian. Menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, telah terjadi pengurangan luas lahan baku sawah di Indonesia. Diambil contoh di Sawahlunto, Sumatera Barat, luas lahan baku sawah telah berkurang dari 7,75 juta hektar menjadi 7,1 juta hektar.
Berdasarkan latar belakang serta permasalahan sebagaimana dikemukakan, yaitu besarnya penduduk usia muda serta lahan pertanian sebagai potensi, tetapi Indonesia cenderung mempunyai ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Artinya partisipasi kaum muda dalam menggarap sektor pertanian belum maksimal.
Dari data yang didapat BPS, kaum muda, petani millenial (rentang usia 19 – 39 tahun) yang menggeluti dunia pertanian tidak sampai 10 % dari total jumlah petani (33,4 juta) dan itu terus mengalami penurunan; tahun 2017 ke tahun 2018 telah terjadi penurunan, berkurang sekitar 415 ribu.
Hasil kajian Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (2017) juga menunjukkan bahwa telah terjadi krisis regenerasi petani muda. Adanya modernisasi di desa dan industrialisasi di kota menyebabkan pemuda lebih tertarik bermigrasi dari desa ke kota untuk bekerja di luar sektor pertanian. Demikian pula hasil riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 bertajuk Regenerasi Petani di empat lokasi penelitian (Tegal, Kediri, Karawang dan Bogor) juga mengungkap kondisi yang sama, yaitu sekitar 48 persen petani tanaman pangan berusia lebih dari 50 tahun. Di samping itu hampir separuh, 46 persen, anak petani (yang menjadi responden) menolak untuk meneruskan apa yang dikerjakan orang tuanya.
Lumpur, miskin, dan gengsi merupakan tiga hal yang sementara dianggap sebagai pemicu kaum muda millennial menjauhi sektor pertanian. Bukan rahasia umum lagi di mana anak petani enggan menjadi petani, di mana pekerja terdidik juga enggan bergelut di bawah terik matahari berbalut lumpur. Yaa, pertanian semakin jauh dari minat dan perhatian kaum muda.
Pada sebuah diskusi (2014), Prof. Fasli Jalal pernah melontarkan pendapat di mana sektor pertanian merupakan salah satu kegiatan usaha yang menyerap cukup banyak penduduk usia produktif, akan tetapi produktivitas cukup rendah. Banyak waktu terbuang di sela tunggu panen; petani hanya menyiangi sawah sambil mengusir kawanan burung-burung di lahan sawah yang tidak terlalu luas. Membosankan, menjemukan dan penghasilan tidak seberapa besar turut membentuk persepsi yang kurang tepat di kalangan kaum muda yang penuh enerjik.
Melalui konsep dan desain urban farming yang diperkuat dengan pemanfaatan optimal tekhnologi digital, pada gilirannya diharapkan mampu memicu rasa ketertarikan kaum muda millennial untuk menekuni dunia pertanian, ter-utama di pertanian hortikultura. Untuk diketahui, kecuali komoditas bawang putih yang masih impor sekitar 38,62 persen, pada umumnya produk sayuran dan buah-buahan telah menunjukkan daya saing yang cukup menjanjikan dan prospektif, baik di pasaran domestik maupun pangsa pasar internasional.
Diskursus intensif berbagai komponen masyarakat, tentu kita berharap perubahan persepsi dan paradigma kaum muda millennial dapat bergulir lebih cepat sehingga di masa dan pasca covid19 ini tren kepeminatan terhadap sektor pertanian kian meningkat. Pertanian modern pun dapat berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat petani muda, yang secara perlahan menggantikan para petani konvensional yang tampaknya kian menyusut dan menua.