QUADRUPLE HELIX UNTUK MEMBANGUN INDONESIA 4.0

Berdasarkan data BPS pada maret 2018, Indonesia memiliki angka koefisien gini sebesar 0,389. Hal ini masih cukup jauh dari target nasional pada tahun 2019 yakni 0,35. Secara umum, angka ketimpangan salah satunya disebabkan oleh meningkatnya angka kekayaan sebagian golongan dan seiring dengan meningkatnya pula angka kemiskinan bagi sebagian orang. Dengan kata lain, seperti kata Rhoma Irama yakni yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Jika kita menelisik lebih jauh angka kemiskinan di Indonesia, BPS merilis data pada bulan maret 2018, bahwa terjadi penurunan hingga menyentuh 9.82%, atau berkurang sekitar 630an ribu orang. Di perkotaan, angka ini menurun dari 7.26% menjadi 7.02%, sementara di desa pun terjadi tren yang sama yakni dari 13.47% menjadi 13.20%. Sehingga, secara umum bisa ditarik kesimpulan bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan baik di desa maupun kota, dengan prosentase kemiskinan di desa masih lebih tinggi daripada di kota.

Salah satu alasan sederhana penyebab ketimpangan kemiskinan, terutama di desa, ialah rendahnya angka perputaran uang dan produktivitas ekonomi secara merata. Kota dengan segala fasilitas seperti infrastruktur, UMR, jaringan komunikasi, fasilitas publik dan hiburan, dan beragam variabel lainnya akan selalu menjadi pilihan banyak orang untuk bekerja yang menyebabkan perputaran uang di sana lebih besar.

Sayangnya, hal ini tak bisa dibiarkan untuk terus terjadi karena kota dengan segala kemewahan yang diberikan pun menggelembungkan angka urbanisasi desa-kota. Alhasil, desa akan kekurangan talenta karena sudah terlalu banyak sumber dayanya, baik yang berkualitas maupun kurang, berpindah dan mencari peruntungan di kota. Sehingga, diperlukan intervensi yang serius untuk mengurangi angka ketimpangan ini serta membuat desa maupun kota sama-sama memiliki pesona yang menawan setiap orang untuk bekerja, berkarya dan membuat roda ekonomi berputar dengan massif.

Quadruple Helix hadir sebagai salah satu pendekatan terkini yang digadang-gadang bisa menjadi alternatif dalam menyiapkan Indonesia 4.0. Ketika beberapa negara sudah bergerak seperti mencipta Made In India maupun Thailand 4.0, maka Indonesia tentunya tak bisa hanya duduk tenang. Secara sederhana, Quadruple Helix bercerita soal kolaborasi aktif dan harmonis antara pemerintah, akademisi/peneliti, industri/ swasta, dan masyarakat/ komunitas. Pendekatan ini menekankan pada bagaimana semua pihak harus terlibat aktif dan sama-sama menjadi objek dan subjek dalam pembangunan itu sendiri. Kebijakan dan pendanaan didatangkan oleh pemerintah, akademisi menyiapkan teorema dan penelitian yang tepat guna terhadap suatu masalah, kemudian pihak industri hadir dengan segenap teknologi serta kalangan professional yang dimilikinya, serta masyarakat pun turun tangan sebagai kunci untuk mengembangkan wilayahnya.

Sebagai contoh, Quadruple Helix bisa dijumpai pada Bandung Creative City Forum. Dibentuk pada akhir tahun 2008, hingga kini BCCF telah menjalankan beragam kolaborasi dan karya yang luar biasa untuk pengembangan kota Bandung. BCCF secara aktif menjalin titik temu dengan beragam elemen semisal United Nations Environment Programme (UNEP) dan Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia untuk menyelenggarakan TUNZA International Children and Youth Conference, membentuk Creative Entrepreneur Network yang mewadahi wirausaha kreatif kota Bandung, menyelenggarakan Helar Fest yang berupa festival kota yang fokus pada pameran potensi ekonomi kreatif dan sebagainya. Bahkan BCCF pun menyediakan ruang publik seperti Bandung Creative Hub serta Simpul Space II sebagai tempat pameran, diskusi, workshop, pertemuan komunitas dan sebagainya.

Sejatinya, BCCF adalah modular yang bisa ditiru dengan bentuknya sendiri-sendiri di berbagai wilayah di Indonesia. Pemerintah pun harus bergerak aktif dalam merangkai kolaborasi aktif, konkrit, berdampak dan sustainable bersama elemen swasta, akademisi serta masyarakat. Sehingga, simpul-simpul permasalahan yang ada di tiap petak wilayah Indonesia tidak dipresepsikan hanya bertumpu pada pundak pemerintah, serta bisa terpetakan dan terselesaikan hingga level akar rumput. Bagaimanapun, Pemerintah harus memiliki political will yang paling besar agar Indonesia 4.0 dengan pendekatan Quadruple Helix bisa tercapai. Akademisi perlu didorong dan difasilitasi untuk membuat riset terapan yang tepat sasaran dan bisa digunakan secara massal,  sehingga tidak menjadikan indeks tertentu sebagai acuan. Swasta pun perlu mengarahkan profesionalismenya dengan lebih optimal untuk menjalankan bisnisnya berbasiskan pemecahan masalah di kehidupan masyarakat, serta tidak menabrak isu penting seperti ketenagakerjaan, limbah, hokum dan sebagainya. Selain itu, masyarakat pun perlu lebih rutin disambangi dan diajak berjalan bersama untuk beraspirasi dan bergerak aktif demi meningkatkan taraf hidupnya dan lingkungan tinggalnya.

Penulis:Angga Fauzan – M.Sc, Candidate of Design & Digital Media, University of Edinburgh 
sumber: ppidunia.org

you may also like