BERCERMIN PADA KEKAYAAN SEJARAH BANGSA
Novita Miniarti *)
Syiwagrha merupakan salah satu candi pemujaan terbesar di Indonesia, terletak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kurang lebih 17 Km dan butuh waktu tempuh sekitar 1 jam kurang dari pusat kota Yogya ke arah timur.
Candi Syiwagrha didirikan pada pertengahan abad ke- 9 M ini lebih dikenal dan popular dengan nama candi Prambanan Karena berada di desa Prambanan, Kecamatan Bokoharjo.
Di gugus atau kompleks Syiwagrha terdapat 5 (lima) candi, termasuk Syiwagrha sendiri, yakni candi Lumbung, Bubrah, Sewu dan candi Asu. Meski candi Asu termasuk gugus prambanan namun letaknya berada di luar lingkar pagar prambanan.
Yang menarik adalah dimana jelas-jelas candi Syiwagrha bercorak agama Hindu, tetapi keempat candi seperti disebut di atas justru merupakan candi pemujaan pemeluk agama Budha. Hal tersebut sangat mudah dikenali dengan melihat pembedaan pada atap candi; candi pemujaan pemeluk agama Budha pada atap atau puncaknya berbentuk stupa sebagai refleksi Budha, sedangkan candi pemujaan agama Hindu berbentuk ‘ratana’, keben atau permata.
Bersanding secara berdekatan candi agama Hindu dan Budha dalam satu gugus menunjukkan betapa tingginya toleransi keagamaan dari masyarakat kita pada saat itu. Jadi sungguh beralasan apabila bangsa kita, Indonesia, amat menjunjung toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dikarenakan memang nilai tersebut telah tumbuh subur sejauh perjalanan bangsa ini dari masa lalu.
Terdapat 3 (tiga) pelataran dari candi Syiwagrha ini, yakni dipelataran kesatu terdapat 16 (enambelas) candi dengan candi utamanya terdiri dari candi Brahma, Syiwa dan Wisnu. Yang tertinggi adalah candi Syiwa dengan ketinggian puncak 47,6 meter, lebih tinggi dari Borobudur. Pelataran kedua terdiri dari 224 candi. Sedangkan pelataran ketiga tidak ada candi namun saat evakasi dulu ditemukan kolam batu putih yang diperkirakan sebagai pertitaan. Dengan demikian keseluruhan di Syiwagrha ada sekitar 240 candi serta kolam yang diperkirakan dahulunya sebagai tempat bersuci sebelum masuk ke bangunan suci.
Untuk masuk ke dalam kompleks Syiwagrha terdapat 4 (empat) pintu masuk sesuai dengan mata angin. Pintu masuk utama adalah melalui gapura depan timur. Tiap pintu masuk ada gapura dan untuk masuk dari arah pintu timur.
‘…tanah merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk menentukan lokasi dan pembangunan sebuah candi. Ada klasifikasi dari lokasi tanah tersebut, misal, tanah yang paling bagus dan ideal untuk dibangun sebuah candi tentu memenuhi klasifikasi Brahmana…’ tutur Manggar Sari Ayuati, arkelog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, yang mendampingi dan memandu rombongan kami.
Dibalut dengan sentuhan keagamaan, sebenarnya nenek moyang kita dalam membangun sebuah candi telah memiliki teknik dan teknologi mengagumkan. Misal, dalam menentukan lokasi dan tanah tadi, untuk menentukan baik tidaknya cukup dengan teknik, pertama, tanah dibajak dan kemudian ditaburi biji wijen; jika dalam waktu 3 hari tumbuh kembali maka tanah tersebut adalah tanah yang bagus dan cocok dan memiliki daya dukung untuk didirikan candi. Teknik kedua adalah dengan cara digali dan kemudian dikembalikan seperti semula; apabila saat pengembalian posisi tanah tersebut ‘pas’ seperti semula maka tanah tersebut termasuk tanah yang baik. Cara sederhana namun tepat.
Sebagian tanah pada kompleks percandian merupakan tanah urukkan, sebagaimana informasi yang terdapat pada prasasti Syiwagrha dimana lokasi didirikannya candi berada di lembah sungai. Awalnya sungai berada disebelah timur dan kemudian dialihkan ke sebelah barat sebagaimana adanya sekarang. Hal inipun disinggung di prasasti tersebut. Urukkan itu dalamnya sekitar 7 meter dan di tata balok batu putih setinggi 8 (delapan) meter.
Pasca gempa mengguncang Yogya, 2007 lalu, dilakukan renovasi. Bekerjasama dengan badan dunia dan beberapa universitas nasional diketahui bahwa pondasi candi Syiwa mencapai kedalaman 15 (limabelas) meter dan Demikian pula tumpukan batu menjulang saling dikaitkan satu sama lain secara tradisional dengan pengait yang menjadi satu kesatuan dari batu itu sehingga memiliki elektisitas tinggi terhadap goncangan. Berat batu besar (amalaka) masing-masing dan rata-rata bisa mencapai 600 kilo yang tentu menjadi penguat ikatan sambungan antara batu satu dan yang lainnya.
Batu yang menjadi bahan dari pembuatan candi berasal dari letusan gunung merapi. Bongkahan batu yang terlontar dan tersebar di kali opak itulah yang menjadi bahan dasarnya. Belum mengetahui secara pasti dengan menggunakan alat transportasi apa dan bagaimana cara membawanya bongkahan batu-batu tersebut. Satu contoh, arca Agastya atau Syiwa Mahaguru yang tingginya mencapai 5 meter. Arca tersebut dibuat pada satu bongkahan batu utuh (monolit). Sisa-sisa atau tatahan batu yang tidak dipergunakan lagi dipakai untuk memadatkan tanah. Memang disekitar kompleks percandian tidak ditemukan perbengkelan, akan tetapi perbengkelan pembuatan material candi dapat ditemui di situs Gupolo, terletak didekat candi Ijo dan candi Barong, kelurahan Sambirejo, Prambanan.
Candi Syiwagrha ini termasuk candi pada tingkatan tingkat kerajaan, oleh karenanya dia megah dan besar. Diyakini bahwa pembangunan candi tersebut sepenuhnya oleh rakyat kerajaan mengingat, pertama, semangat keagamaan yang kuat dan tinggi yang menyertai tatanan kehidupan mereka. Kedua, pemahaman yang kental sangat dipengaruhi agama dimana raja adalah perujudan dewa sehingga raja memiliki hak untuk mendapat persembahan dari rakyat berupa persembahan tenaga.
Menurut hasil penelitian, bangunan suci umat beragama Hindu ini, pada jamannya merupakan bagian dari kota kuno. Hal itu didukung bukti peninggalan yang ditemukan di seputar luar kompleks percandian yang mengindikasikan kehidupan permukiman kuno. Contoh, di daerah yang sekarang menjadi areal pasar prambanan banyak ditemukan banyak bekas pondasi-pondasi bangunan, saluran air dan sumur-sumur kuno, alat rumah tangga, cermin untuk peralatan upacara dan lain sebagainya.
Membedah candi Syiwagrha akan semakin membuat kita bangga dan kagum, paling tidak, kita dapat mengambil manfaat nilai yang sangat tinggi, diantaranya, kuatnya dan konsistensi komitmen lintas generasi, sebab seperti juga Borobudur candi ini mengalami penyempurnaan lebih dari satu generasi. Dan, tampaknya konsistensi ‘komitmen’ generasi ini yang patut untuk kita implementasikan saat ini dan waktu ke depan.
Jalan yuuukkk….
*) Penulis owner infolibur.com <
Pic: infobudaya.net