HANTU GOLPUT DARI MILENIAL
RABU, 17 April 2019 merupakan Pemilu ke-12 sejak tahun 1955 dengan skema pemilihan serentak. Pada pemilu kali ini, posisi milenial sangat strategis sekaligus determinan. Gambaran kuantitatifnya, 80 juta (35%-40%) dari 185.732.093 pemilih ialah pemilih milenial dengan rentang umur 17-35 tahun (LIPI, 11/12/2018).
Gambaran kualitatifnya, selain berpengaruh pada legacy dan legitimasi proses, pemilih milenial juga merupakan penanda berlangsungnya keberdemokrasian yang cerdas, beradab, dan bermartabat.
Dalam bingkai pembangunan negara bangsa, milenial akan membawa transformasi demokrasi Indonesia yang bermakna. Kehadiran mereka pada pentas kontestasi, akan mengubah persepsi publik bahwa pemilu tidak hanya sekadar rutinisme elektoral lima tahunan dengan tarian bernarasi ‘kedemokrasian’. Tetapi lebih dari itu, adanya kebangkitan kesadaran moral ‘keberdemokrasian’, melalui partisipasi aktif dalam memilih pemimpin nasional, para wakil rakyat dan senator.
Namun, gambaran kuantitatif dan kualitatif ini tidak berbanding lurus dengan fenomena golput di kalangan milenial. Berdasarkan data DPP Fisipol UGM (Kompas, 26/02/2019), 27 Januari-19 Februari 2019 melalui media daring dan media sosial terdapat 2.840 percakapan tentang golput. Dan ada sekitar 269 percakapan berisi ajakan golput.
Sementara itu, intensitas percakapan golput di media daring per wilayah di RI: Jabar 21,60%, DKI Jakarta 14,94%, Jatim 14,64%, Jateng dan Yogyakarta 9%, daerah lain 1%. Dapat disimpulkan, 75%-80% yang terlibat aktif dalam produksi konsep golput dan intens membicarakannya ialah milenial.
Kesimpulan ini juga merujuk data BPS pada bagian Statistik Pemuda 2016, dengan 88,35% milenial mengakses internet untuk bermedia sosial dan 75,02% untuk mendapatkan informasi/berita. Data ini diperkuat survei CSIS (Agustus 2018): 81,7% milenial berselancar dengan Facebook, 70,3% Whatsapp, dan 54,7% Instagram.
Mengapa penetrasi golput semakin masif di kalangan milenial? Jawabannya, karena ada paradoks! Paradoks ini muncul secara kasat mata ketika indikator kematangan demokrasi muncul berbarengan tumbuhnya kontra-indikator, terkait luaran dan dampak penyelenggaraan demokrasi.
Rupanya beberapa indikator kematangan ini tidak diikuti luaran dan dampaknya. Ada beberapa kontra-indikator bila ditilik dari sisi luaran dan dampaknya. Pertama, capaian kompetensi penyenggaraan pemilu belum menyentuh substansinya. Yakni peningkatan kesejahteraan. Kontestan masih bermain di zona pertarungan elektoral an sich. Dan belum bergerak untuk mengkreasi ruang kesadaran partisipatif.
Kedua, pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih, de facto tidak aspiratif dan hanya memperjuangkan kepentingan diri, kelompok (oligarki). Ketiga, banyak kasus korupsi/moral yang menyeret para pemimpin/wakil rakyat yang merupakan produk langsung pemilu.
Keempat, sering terjadinya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif dengan melibatkan pihak penyelenggara dan para pihak yang memiliki ‘will to power’ oriented.
Kelima, biaya politik yang mahal ‘memaksa’ para politisi untuk berafiliasi dengan para pemilik modal. Keenam, di beberapa daerah, muncul konflik sosial yang mengakibatkan kerugian nyawa dan benda karena pertarungan politik yang tidak sehat, jujur dan adil. Ketujuh, rendahnya gerakan animasi dan literasi politik terhadap generasi muda dan minimnya pemberdayaan politik kepada lapisan masyarakat.
Kedelapan, sistem pemilihan yang dianggap rumit dan kerap berubah. Serta, kurangnya pendidikan dan sosialisasi ke tengah masyarakat. Kesembilan, pemilu dianggap membawa petaka sosial karena setiap hajatan pemilu banyak terjadi gesekan sosial akibat maraknya kampanye hitam, menyeruaknya politik identitas, hoaks, semburan kebencian berirama SARA.
Langsung atau tidak langsung, beberapa kontra-indikator ini dapat memengaruhi partisipasi milenial. Merujuk pada konsep mengenai karakter sosio-politiknya, milenial memiliki jaringan luas, bebas dan tanpa batasan. Termasuk aksesibilitas terhadap informasi perkembangan politik, dan isu-isu aktual lain yang merambah di ruang publik.
Sementara dalam mengemban hak politiknya, mereka memiliki tipikalitas. Pertama, tidak memiliki kepatuhan ideologi dan instruksi politik tertentu. Kedua, berubah-ubah dalam preferensi politik, penuh pertimbangan memilih parpol, caleg atau calon pemimpin yang dapat menyalurkan kepentingan kemudaannya.
Ketiga, tidak mudah percaya pada elite politik yang memiliki rekam jejak buruk, terjerat korupsi,kasus moral, berkampanye hitam, penuh demagogi, berpolitik identitas, bermain isu negatif, dan membuat hoaks serta menyembur kebencian berbau SARA.
Bila bias kontra-indikator ini lebih dominan merambah milenial, tidak heran merebaknya tendensi golput, dan bisa secara signifikan memengaruhi preferensi politiknya. Hasil riset Institute of Public Policy Atma Jaya (Gani, 2017) menemukan, lebih dari 60% kaum muda urban memandang demokrasi (pemilu) belum membawa perubahan berarti bagi kehidupannya.
Mereka menjadi pesimistis dan apatis dalam berdemokrasi karena aspirasi tidak diakomadasi dan tidak terciptanya ruang optimistis, prospektif, kreatif, inovatif, pengembangan diri, dll. Bias kontra-indikator pada tendensi golput, tidak saja memapar milenial nasional, tetapi juga bisa saja menjalar ke milenial lokal.
Perihal politik, pemilih milenial berada dalam kelompok kategori rasional-kritis (Tapung, 2019). Tentu varian rasionalitasnya berbeda, tergantung persepsi dan konsepsi politiknya. Pertama, rasional-ideologis. Kelompok ini tanggap terhadap isu politik, aktivis organisasi politik, aktif sebagai influencer dan volunter politik. Mereka berpotensi menjadi pemilih ideologis.
Kedua, rasional-oportunis. Kelompok ini kurang tertarik politik, tetapi tetap menggunakan hak pilih pada menit terakhir. Banyak pertimbangan, tergantung isu, dan pengaruh paling kuat menguntungkan untuknya. Mereka berpeluang menjadi swing votersatau undecided voters.
Ketiga, rasional-apatis. Kelompok ini alergi, ignoran, dan menutup diri terhadap akses informasi politik, tidak percaya pada politisi. Mereka juga skeptis pada kerja lembaga politik dan pemerintahan dalam memperbaiki kehidupan. Mereka berpotensi golput pada setiap pemilu.
Bagaimana dengan target tingkat partisipasi Pemilu 2019 sebesar 77,5%? Apakah tidak cukup ambisius di tengah masifnya penetrasi gerakan golput di kalangan milenial? Saya kira belum terlambat.
Perlu ada ikhtiar konkrit dalam meningkatkan partisipasi milenial. Pertama, penyelenggara pemilu, pemerintah, sekolah/PT memfasilitasi proses registrasi yang sederhana dan terjangkau bagi milenial untuk menjadi pemilih tetap.
Kedua, lembaga pendidikan formal perlu mendidik milenial tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab moral dalam pemilu. Bekerja sama dengan penyelenggara pemilu mengintegrasikan pengetahuan tentang pemilu pada proses pembelajaran dan pembinaan.
Ketiga, keluarga, masyarakat, dan lembaga agama mesti menjadi tempat pendidikan demokrasi untuk milenial dengan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Serta meracik semangatnya untuk membangun bangsa dengan cara berpartisipasi aktif dalam pemilu.
Keempat, animasi dan literasi politik melalui media mainstream dan media digital demi mencerahkan milenial tentang pentingnya berpartisipasi dalam pemilu. Kelima, mengampanyekan ‘antigolput’ pada semua tingkatan wilayah, melibatkan sebanyak mungkin milenial dengan memanfaatkan berbagai bentuk media.
Penulis: Marianus Mantovanny Tapung, Kepala LPPM STIKes St. Paulus Ruteng, Sekretaris Eksekutif Perennial Institute
Sumber: Media Indonesia.