GURU YANG MENGILHAMI
DALAM beberapa grup Whatsapp yang saya ikuti, beberapa waktu lalu, beredar sebuah meme yang berisi ucapan dari William A Ward. Saya harus akui dengan jujur bahwa hingga saat itu saya tidak mengenal nama dan aktivitas orang ini yang kutipannya menjadi topik pembahasan di grup Whatsapp.
Dari Google saya temukan sejumput informasi, dia ialah tokoh methodist Amerika abad ke-20. Ia tokoh inspiratif yang banyak menulis. Banyak pernyataannya menjadi ilham bagi pembaca. Siapa pun dia, hal paling penting bagi saya ialah bahwa ucapannya yang dikutip dalam meme itu sangat menarik.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya sampaikan dulu kutipan itu di sini, ‘The mediocre teachers tells. The good teachers explain. The superior teachers demonstrates. The great teachers inspires‘. Dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut, ‘Guru yang sedang-sedang menyampaikan. Guru yang baik menjelaskan. Guru superior membuktikan (menunjukkan dengan bukti). Guru agung mengilhami’.
Hal itu sangat menarik untuk dikaji. Seorang teman dalam grup Whatsapp itu bertanya secara kritis dan menggugat, kita ada di mana? Sedang-sedang, baik, superior, atau agung? Seorang teman lain menjawab minimalis, ‘Itu tidak usah dipikirkan. Ada pada level tellspun sudah cukup’.
Ketika saya memikirkan hal ini lebih jauh, saya beranggapan bahwa pertanyaan itu bisa menyesatkan. Kutipan yang indah dan keren itu membuat orang, khususnya pada guru, terkotak-kotak dalam satu kelompok atau tataran tertentu. Ada kesan gradasi piramidal dari bawah ke atas.
Dasar piramida meliputi banyak orang. Puncak piramida hanya sedikit orang, bahkan mungkin hanya satu orang. Kalau di puncak itu satu orang, yang lain hanya sampah. Mungkin pernyataan itu berlebihan.
Ada gradasi mutu guru yang berada pada level sedang-sedang saja. Di atas itu ada kategori guru yang baik. Di atas itu ada guru superior. Lalu, di puncak ada guru agung. Setiap level disertai dengan kata kerja (kata tugas) yang mencirikan aktivitas pokok mereka dalam relasi dengan peserta didik. Di tingkat paling bawah hanya bisa memberitahukan. Di atasnya sudah mampu menjelaskan. Di atasnya lagi ada tingkat kemampuan untuk membuktikan sesuatu. Di tingkat paling atas ada kemampuan yang melampaui (beyond) semuanya, yaitu mengilhami.
Kiranya pendekatan yang memakai pembedaan sistem gradasional seperti itu bisa mengganggu guru dan dosen, bahkan bisa menyesatkan. Mengapa? Hal itu karena menurut substansinya, guru harus bisa memainkan semua peranan itu. Saat guru menjalankan fungsi dan peran sebagai guru dan pendidik, ia harus bisa melaksanakan semua kata-tugas pokok tadi.
Ada bagian dan peran dari tugasnya sebagai guru dan pendidik, yakni dia dituntut untuk cukup memberitahu saja (tell). Itu terjadi saat dia memberi informasi, penjelasan informatif kepada peserta didik.
Kemudian, ada juga bagian dan peran dia harus bisa menjelaskan (explain). Jika ada satu pengertian atau gagasan baru yang kabur, itulah saatnya guru menjelaskannya kepada peserta didiknya. Ada juga bagian dan peranan dia harus bisa menunjukkan (demonstrate) dengan bukti.
Hal itu terutama dimaksudkan untuk memperjelas gagasan atau pemikiran dengan memakai contoh penjelas tertentu lewat analogi, metafora, perumpamaan, atau dengan proses pembuktian induktif (laboratorium) dalam ilmu tertentu.
Yang paling akhir dari kata-kata itu ialah kemampuan mengilhami, memberi ilham (inspire). Kemampuan mengilhami (inspire) itu rada sulit ditetapkan di mana atau kapan bisa dilakukan guru atau pendidik. Itu ialah sebuah kata atau konsep abstrak, tetapi mempunyai daya yang merembesi segala aktivitas dan tugas pengajaran dan pendidikan guru atau pendidik. Karena itu, saya berpendapat bahwa kata inspire itu harus muncul dalam ketiga kata terdahulu.
Daya ilham itu tidak hanya muncul sebagai sebuah tingkatan tersendiri, melainkan ia harus menjadi lapisan dasar dari ketiga kata kerja terdahulu. Dengan pendekatan ini, kesan gradasi piramidal tadi bisa teratasi. Hal itu tidak menimbulkan kesan pembedaan gradasi sosial di antara para guru atau pendidik.
Bahkan, momen dan daya inspirasional seorang guru dan pendidik harus tampak dalam seluruh penampilan dan cara hidup guru itu. Daya-daya ilhami harus tampak dalam teladan hidup, perkataan, dan perbuatan guru.
Saya menentang pendekatan gradasional itu. Saya tidak memakai pendekatan eksklusif, tidak hanya ‘ini atau itu’, tetapi pendekatan komplementer, bahwa keempat kata kerja itu saling melengkapi dan mengisi. Kata kerja mengilhami (inspire) harus melandasi dan merembesi semua kata-kerja lain. Hanya dengan cara itu, kata kerja yang lain tadi, menjadi lebih berbobot. Tidak hanya berlangsung sebagai rutinitas yang membelenggu dan tidak bermakna belaka.
Karena itu, benarlah pepatah Latin yang sangat klasik dan terkenal, ‘verba docent, exempla trahunt‘. Kata-kata (verba) punya kemampuan untuk mengajar, tetapi ialah contoh teladan (exempla) yang lebih punya daya tarik untuk menggerakkan orang. Yang paling menarik ialah teladan, perbuatan, exempla. Itu karena kata-kata, verba bisa saja terbang, menghilang, menguap, cepat dilupakan orang, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Dalam bahasa Latin dikatakan, verba vollant. Namun contoh, teladan akan tinggal tetap, mengendap, diingat orang, mengilhami peserta didik. Dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah, exempla manent. Lengkapnya, verba vollant, exempla manent.
Sebagai dosen (guru, pendidik) saya hanya bisa berusaha sebaik dan sebisa mungkin, sambil berharap bahwa aktivitas saya memberitahukan, menjelaskan, membuktikan, dan mengilhami itu bisa ‘nyambung’ pada antena (alat penangkap) tiap-tiap mahasiswa.
Saya juga berharap bahwa seluruh hidup saya bisa mendatangkan efek transformatif di dalam mahasiswa atau peserta didik. Para mahasiswalah (peserta didik) yang menilai apakah kita sudah bisa berperan sebagai pendidik (pengajar) yang baik dan efektif atau belum.
Penulis: Fransiskus Borgias
Sumber: Media Indonesia