UNIVERSITAS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia / Guru Besar Statistika IPB 

Setelah saya menulis Universitas dan Pertumbuhan Ekonomi di Koran Tempo (11 Desember 2018), banyak yang mengapresiasi, kaget, dan bertanya. Mengapa saya mengambil jumlah Perguruan Tinggi (PT) sebagai faktor yang diharapkan berefek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Asumsi yang saya pergunakan adalah bahwa PT itu tempatnya orang-orang pintar, adanya kegiatan riset, inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat. Secara konsep, kegiatan-kegiatan PT disebut tridharma. Harapan dari penggagas tridharma itu tidak lain adalah bahwa PT dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Dengan demikian, hipotesisnya adalah bahwa jumlah PT ini berkorelasi positif  dengan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi anggapan ini ternyata tidak terdukung oleh fakta.

Dalam tulisan terdahulu direkomendasikan adanya pengurangan jumlah PT di tanah air. Bila dibiarkan banyak, niscaya akan terus jadi beban negara, bukan solusi pembangunan. Pemerintah perlu membuat klaster PT lengkap dengan mandat-mandatnya. Tulisan ini melihat sistem lebih luas lagi dengan memasukan komponen industri, pemerintahan, LSM, dan masyarakat.

PT dan Industri

Kehadiran PT di sebuah negara adalah keniscayaan. Apalagi dewasa ini dimana ekonomi semakin erat kaitannya dengan sains, teknologi  dan inovasi. Ketiga faktor itu tentu sangat memerlukan entitas yang kuat dalam riset dan pengembangan. Dari kacamata sistem, PT di berbagai negara sudah diakui sebagai tempat berkembangnya faktor-faktor penggerak ekonomi modern. Sehingga tidak salah bila perusahaan-perusahaan berbasis inovasi dan pengetahuan itu ‘mengerubungi’ kampus-kampus besar seperti Stanford dan Harvard di Amerika. Keadaan ini akhirnya menjadi simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dan sangat baik untuk ekosistem pendidikan tinggi.

Sayangnya di negara kita ada persoalan kesenjangan atau bahkan diskonek antara PT dan industri seperti hasil penemuan Bank Dunia tahun 2014. Penelitian yang dilakukan di PT hampir tidak ada hubungannya dengan dunia usaha dan industri. Walaupun ada, jarang sekali diadopsi oleh industri karena berbagai alasan, misalnya karena kandungan teknologi terapannya sangat rendah. Keadaan ini menyebabkan kehadiran PT tidak memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kenyataan memprihatinkan ini sering disindir oleh Presiden Jokowi. Apa dampak dan manfaat dana riset sekitar 24 triliun terhadap industri? Teman saya yang mempunyai pabrik vaksin hewan sempat menantang ‘berikan 1 persen saja, aku jamin bisa ekspor vaksin hewan’. Artinya pihak swasta lebih piawai dalam memanfaatkan dana riset untuk produksi sesuatu berbasis teknologi.

Upaya Jalan Keluar

Situasi ini tentu tidak bisa dibiarkan terus berjalan sehingga menjadi BAU (business as usual). Perlu ada solusi terhadap persoalan yang sudah menahun ini. Membiarkan masalah ini sama saja dengan membuat Indonesia jadi negara konsumen, tergantung pada produk luar negeri termasuk untuk makan sekalipun. Kondisi ini sangat merugikan dan membahayakan negara.

Sehubungan masalah ini bermuara pada sumber daya manusia (SDM), maka sektor yang wajib diperbaiki adalah kelembagaan pendidikan dari dasar sampai tinggi. Memang efek perbaikan SDM tidak bisa langsung dirasakan dalam jangka pendek. Karena memerlukan pembudayaan total pada guru/dosen, laboran,tenaga kependidikan, birokrasi, sistem, dan tata kelolanya. Untuk itu perlu kejelasan sistem merit, finansial, pembelajaran dan pelatihan terus menerus dengan pola baru. Sekolah harus dikelola secara profesional dengan prinsip-prinsip good governance dan ekosistem inovatif.

Di tingkat PT, model penelitian jangan terlalu berbasis hanya untuk menjawab kuriositas dosen saja. Akan tetapi harus dikaitkan dengan kebutuhan pasar dan industri. Riset yang bisa menjawab masalah industri yakni industry-led research atau market driven research.

Saat ini, riset untuk menjawab kuriositas bisa saja sudah mulai berhasil dengan meningkatnya indek makalah ilmiah dalam jurnal dalam dan luar negeri. Saat ini di kalangan kampus, terkenal istilah scopusisasi. Akan tetapi indeks scopus ini baru di level hulu riset, belum di tingkat aplikasinya. Selain itu, bisa juga pendekatan indeks ini telah menyebabkan modal harus terbang ke luar negeri (capital flow) karena pembayaran jurnal-jurnal luar negeri. Sehingga uang 27 triliun itu tidak membanjiri ekonomi negara. Tidak heran bila ada yang menyebut pola indeks jurnal ini sebagai “hantu scopus”.

Melihat kondisi kemubaziran ini, yakni menguapnya dana riset serta kesenjangan PT-industri, perlu dibuatkan beberapa alternatif solusi. Solusi yang bersifat lebih terintegrasi dengan melibatkan sektor di luar PT.

Upaya pertama. Tidak bisa dipungkiri bahwa sampai saat ini tentunya sudah ada beberapa hasil riset yang berkaitan dengan pasar, dunia usaha, dan industri. Hanya pihak industri tidak tahu ada apa di PT. 

Untuk upaya awal ini, yakni masalah pemanfaatan hasil riset adalah berupa temu bisnis (business gathering) baik skala nasional, provinsi dan kabupaten. Perusahaan swasta atau industri diundang mendengarkan paparan hasil riset yang bisa dijadikan bisnis. Beban biaya permulaan penerapan hasil riset ini jangan dibebankan pada perusahaan yang berminat. Akan tetapi sebaiknya diambil alih oleh pemerintah pusat (APBN), provinsi (APBD PROV), dan kabupaten (APBD KAB), tergantung besaran bisnisnya.

Pada tahap awal ini, selain pihak swasta tidak dibebani biaya penerapan hasil riset, juga tidak dibebani pajak. Biarkan mereka tumbuh berkembang sampai menghasilkan produk dan menyedot tenaga kerja. Indikatornya adalah peningkatan ekonomi daerah, pengurangan pengangguran, peningkatan partisipasi sekolah, dan pengurangan urbanisasi. Perpajakan bisa dilakukan setelah perusahaan pengguna hasil riset itu mapan.

Upaya kedua. Kita tahu bahwa negara ini sudah mulai investasi gedung dan fasilitas riset sejak kemerdekaan. Untuk itu perlu dipetakan kondisi gedung/fasilitas saat ini lengkap dengan aktivitasnya. Kondisi gedung/fasilitas dan kegiatannya dapat diklasifikasikan menjadi baik, sedang, dan buruk.

Berdasarkan peta kondisi ini, pemerintah dapat melakukan upaya kerjasama dengan pihak industri swasta untuk revitalisasi fasilitas. Tentunya program ini disesuaikan dengan jenis usaha dan tipe fasilitas tersebut. Bila fasilitas itu, misalnya, berkaitan dengan laboratorium kimia, maka industri yang diundang musti berkaitan dengan obat-obatan, vaksin (hewan atau manusia), dan lain-lainnya yang cocok.

Fasilitas serta gedung dalam kondisi buruk dan sedang, bisa melibatkan swasta untuk pemanfaatan dan revitalisasinya. Bagi pihak swasta hal ini akan menguntungkan untuk peningkatan skala bisnis dan ada komponen riset untuk kontinuitas bisnis. Bagi negara pun tentu sangat menguntungkan dengan adanya devisa dengan adanya komponen ilmu pengetahuan. Syarat pemanfaatan fasilitas ini adalah industri swasta harus membentuk unit atau direktorat riset dan pengembangan.  Unit inilah yang akan memanfaatkan lab menganggur (idle) sehingga terus produktif sesuai dengan tuntutan pasar. Dalam tahap awal pembenahan fasilitas, pemerintah bisa saja mengalokasikan dana APBN sehingga industri swasta tidak terlalu terbebani persoalan dana.

Agar proses bisnis perusahaan itu memasukan komponen riset, unit riset harus dipimpin oleh staf setara dengan direktur, misalnya Direktur Riset, Pengembangan, dan Produksi. Pengelolaan direktorat dan laboratoriumnya harus dikelola secara profesional dengan menggunakan prinsip-prinsip good governance. Dalam hal ini tentu pihak swasta lebih paham. Bila tidak, tentunya perusahaan akan mengalami kebangkrutan.

Indikator dari upaya kedua ini adalah devisa negara, penyedotan tenaga terdidik setingkat sarjana, diploma, dan teknisi laboran sesuai dengan tipe bisnis, berkurangnya pengangguran tenaga terdidik, peningkatan kesejahteraan staf yang ada saat ini, dan tingginya penetrasi ilmu pengetahuan ke dalam bisnis. Solusi ini tentunya bermanfaat terhadap gedung dan fasilitas riset yang saat ini menganggur atau kurang optimum. Juga tenaga laboran yang kurang produktif menjadi bergairah karena ada kegiatan baru yang menghasilkan uang.

Upaya ini bisa menyelamatkan diskonektivitas antara PT dan industri. Masalah kesenjangan ini jangan terus dijadikan topik riset, tetapi harus dicari solusinya. Salah satunya adalah kerjasama dengan pihak industri swasta untuk penanggulangan dan revitalisasi fasilitas mangkrak.

Upaya ketiga. Sebagaimana diketahui, bahwa Indonesia sangat kaya dengan SDA. Untuk itu perlu dibuat kebijakan sistem industri tertutup (close system). Artinya industri berbasis SDA itu dilakukan di suatu wilayah yang terintegrasi hulu-hilir, mulai dari budidaya sampai industri turunannya. Semua disimpan dalam satu kawasan ‘superblok’.

Sistem industri tertutup superblok ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan yang saat ini cukup sukses dalam bisnis SDA. Adapun jenis SDA yang layak dipertimbangkan adalah sawit, karet, kopi, kopra, coklat, buah-buahan, ikan tangkap, padi dan jagung. Mereka tentunya sudah menempati wilayah tertentu, namun belum berupa kawasan superblok industri turunan yang lengkap. Kalaupun ada mungkin hanya sampai industri turunan satu atau dua saja. Padahal hampir semua jenis SDA itu mempunyai lebih dari 10 jenis turunan yang bisa jadi industri. Sawit, misalnya, punya sekitar 70 industri turunan yang dapat diambil mulai dari akar sampai pucuk daun.

Pembangunan superblok industri ini juga harus diberi syarat membuat unit riset setara direktur yang membawahi laboratorium untuk riset dan produksi. Dalam hal ini, tahap awal pemerintah dapat menyisipkan APBN bagi penguatan kelembagaan divisi riset dan pengembangan, selain kemudahan perizinan pembangunan kawasan industri superblok. Industri superblok ini wajib membuat produk industri turunan, serta dilarang mengekspor materi dasar (raw material) dan turunan pertama.

Indikator kinerja industri superblok ini adalah devisa negara, penyerapan tenaga kerja sekitar superblok dan tenaga terdidik bidang-bidang yang berkaitan dengan SDA, menguatnya penetrasi ilmu pengetahuan ke dalam industri, dan memenuhi kebutuhan pasar domestik. Hal ini sesuai dengan gagasan memperbanyak program studi STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics). Bila gagasan ini tidak dibarengi dengan pembangunan industrinya, jangan harap para lulusan akan bekerja di bidangnya. Mereka akan mengalir ke bidang usaha yang tidak nyambung dengan kesarjanaannya atau eksodus ke luar negeri atau ‘brain drain’. Ini tentu kemubaziran yang nyata bagi negara.

Upaya keempat. Upaya ini dikaitkan dengan hasil-hasil kajian pengabdian kepada masyarakat atau teknologi sederhana tepat guna. Dalam hal ini Kemenristekdikti harus bergandengan tangan dengan kemendes-pdt-trans, kemenperin, LSM dan pemerintah kabupaten. Tujuannya adalah pemanfaatan hasil penemuan PT dan pemberdayaan masyarakat. Misalnya memanfaatkan sungai untuk mikrohidro.

Dalam program ini peran pemerintah adalah kemudahan perizinan bagi LSM dalam memanfaatkan teknologi sederhana tepat guna. Indikatornya adalah adanya penerangan teknologi berbasis potensi lokal seperti sungai, berkembangnya industri rumah tangga, tertatanya sarana prasarana desa, peningkatan partisipasi sekolah, pengurangan urbanisasi, dan tentunya tumbuhnya gotong royong dan kerukunan masyarakat.

Dari upaya keempat solusi tersebut maka diharapkan alokasi dana sekitar 27 triliun per tahun itu menjadi bermanfaat nyata, tidak mubazir, menguatnya hubungan PT-industri, dan peningkatan devisa dari komponen ilmu pengetahuan. Secara keseluruhan hal itu akan meningkatkan IPM (indeks pembangunan manusia), indeks kompetitif global (GCI, global competitiveness index), index kompleksitas ekonomi (ECI, indeks economy complexity), dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selain itu, model solusi ini akan membuat Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Percayalah.

pic: Kementerian Komunikasi dan Informasi (https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/5184/Membangun+Ekonomi+Negeri+Yang+Mandiri/0/infografis)

you may also like