KEPEMIMPINAN KAUM MUDA DALAM PEMERINTAHAN
Bernardus M
Ketua Komunitas Peduli Bonus Demografi Riau dan Anggota Indonesia Marketing Association Chapter Pekanbaru
Tahun lalu, Indonesia kedatangan tamu salah satu menteri paling muda dari negara tetangga Malaysia, Syed Shaddiq yang dipercayai memegang posisi Kementerian Pemuda dan Olah Raga di saat baru menginjak usia 25 tahun. Di saat kaum muda kita mungkin hanya sibuk bernarsis ria dan mengkritik tanpa solusi, anak muda negara tetangga sudah berpikir berkontribusi nyata. Sangat muda dan segar dalam struktur pemerintahan baru Perdana Menteri Mahathir Muhammad.
Ada yang menarik dari terpilihnya kembali Mahathir Muhammad sebagai Perdana Menteri Malaysia. Bukan karena faktor usianya yang hampir mencapai satu abad, tapi lebih karena keberanian dan kepercayaannya terhadap generasi penerus bangsa, kaum muda. Sang Perdana Menteri mengangkat dua menteri yang tergolong sangat muda. Selain Syed Shaddiq, ada pula perempuan muda yang juga dilantik menjadi menteri bernama Yeo Bee Yin.
Tidak tanggung-tanggung, dia mengurusi Kementerian Bidang Tenaga, Teknologi Sains, Perubahan Iklim dan Alam Sekitar. Kira-kira kalau kita bandingkan dengan kementerian di Indonesia, hampir serupa dengan Kementerian Riset dan Teknologi, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Mengejutkannya lagi, bukan saja karena dari segi usia mudanya, jika di bandingkan dengan menteri di Indonesia –hampir berbeda 2 kali lipat– tapi lebih menyoroti kepercayaan peran jabatan yang berpengaruh besar dalam tataran kemajuan peradaban bangsa di masa depan.
Ini membuktikan, estafet transformasi kepemimpinan telah terjadi di Malaysia. Walaupun, kita mesti akui, pemimpin puncaknya belum terlihat berubah. Namun, realitas dalam mempercepat tenaga lokomotif pemerintahan agar lebih berani, gesit, dan progresif, Sang Perdana Menteri sepertinya sadar akan kekuatan kaum muda tersebut. Pertanyaannya, bisakah di Indonesia ini diadaptasi?
Lebih jauh lagi, dalam skala global, DNA pendobrak dari kaum muda ternyata juga sudah menjadi terobosan dalam struktur pemerintahan. Belum lama ini, bagaimana seorang pemuda berusia 27 tahun menjadi Menteri Urusan Luar Negeri Austria yang bernama Sebastian Kurz, dan saat ini telah memegang tampuk kepala pemerintahan termuda, saat ia baru menginjak usia 31 tahun.
Tidak kalah fenomenalnya, seorang perempuan bernama Shamma Al Mazrui dari negara federasi Uni Emirat Arab mengemban amanat pejabat Menteri Pemuda pada usia 22 tahun! Masih ada beberapa tokoh pemerintahan negara lain yang juga tak kalah terbukanya terhadap generasi muda yang dahulu pernah dipercaya memegang posisi strategis. Misalnya, Yuko Obuchi (34 tahun) dari Jepang dan Kristina Schroader (33 tahun) dari Jerman. Dan, belakangan Presiden Prancis, Macron (39 tahun).
Jika telah demikiannya banyaknya estafet kepemimpinan bergulir kepada kaum muda, mengapa bangsa kita Indonesia sepertinya enggan memberikan kesempatan? Begitu tidak profesional dan tidak pantaskah kaum muda dalam memajukan bangsa? Ataukah, generasi senior kita terlalu takut kehilangan pengaruhnya?
Jika kita cermati kembali negara tetangga kita Malaysia, entah kebetulan atau tidak, usia masyarakat di negara tersebut saat ini juga lebih didominasi kaum muda. Tepatnya, generasi muda yang berusia 28 tahun. Tentu saja ini berbanding lurus dengan jumlah pemilih. Mungkin inilah salah satu alasannya, Malaysia sangat terbuka dengan pemimpin dari generasi muda.
Di Indonesia sendiri telah terjadi perubahan struktur kependudukan yang menciptakan ledakan usia produktif (15 tahun-64 tahun) yang separuhnya, pada puncak bonus demografi pada 2030 akan menciptakan sekitar 180 juta jiwa usia produktif. Karena, itu, dominasi Pemiu Presiden 2019 nantinya, peran usia produktif khususnya kaum muda yang berusia 17 tahun sampai 35 tahun berkisar 100 juta jiwa dari sekitar 196 juta lebih pemilih. Inilah kesempatan besar para pemimpin bangsa untuk memanfaatkan daya ungkit kaum muda dalam kancah pemerintahan untuk menopang pembangunan nasional.
Melihat permasalahan bangsa kita yang kian kompleks dan menantang, sudah saatnya pemerintah berkolaborasi dan memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk duduk sebagai policy maker. Langkah strategis tersebut dengan membuka sebuah kesempatan jabatan menteri yang dipercayakan kepada generasi muda. Paling tidak pemerintah memberikan jabatan strategis di struktur pemerintahan agar lebih memahami psikologi kaum muda yang kini sangat berbeda akibat gelombang inovasi teknologi. Cara berpikir dan budayanya tentu memiliki tantangan tersendiri. Dibutuhkan figur dengan profil yang hidup di era yang sama, sehingga nantinya pemecahan dan pengelolaan permasalahan lebih selaras dan efektif.
Apakah ini bisa terjadi di negara kita? Ini semakin dimungkinkan, sebab seperti yang disampaikan di awal, perubahan struktur penduduk Indonesia mengalami bonus demografi sehingga generasi produktif kaum muda kian meledak. Jelas lebih banyak kaum muda menjadi pilihan, dan generasi ini pulalah nantinya yang akan menjadi generasi emas di masa depan.
Apalagi, sejarah telah membuktikan kaum muda memiliki peran krusial dan hal tersebut kini juga telah banyak diterapkan di negara lain. Lalu, mengapa tidak mencobanya? Jika solusi tersebut memiliki risiko, hal tersebut merupakan hal yang lumrah. Di belahan bumi mana kebijakan atau keputusan tidak memiliki risiko? Perubahan besar tentu memiliki risiko. Ada konsekuensi dalam menerima hasilnya. Tapi, kalau tidak dilaksanakan sekarang, sampai kapan bangsa ini menunggu gebrakan dari kaum muda?
Eksistensi kaum muda perlu diakui dengan memberikan kepercayaan dan kesempatan. Tentu saja dengan regenerasi tersebut bukan berarti tokoh pemimpin yang lebih senior akan kehilangan muka, namun terbuka kemungkinan menjadi mentor atau partner karena memiliki jam terbang pengalaman berbeda. Bukankah Bung Karno pernah berpesan, beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia?
***